BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Menjaga kesehatan mental ditengah pandemi covid 19 terang Teddy Hidayat dr Sp KJ (K) dari Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat Pemerintah Provinsi Jawa Barat menjadi hal yang sangat penting.
Di mana Covid-19 yang merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 atau corona telah menyebar dari Wuhan ke seluruh benua sehingga membuat semua orang mengalami kepanikan dan ketakutan yang luar biasa.
“Kepanikan dan ketakutan tersebut disebabkan karena ketidaksiapan menghadapi wabah, penyebarannya sangat cepat melalui droplet infection yang sulit dicegah dan dapat berakhir dengan kematian karena belum ada obat dan vaksin untuk pencegahannya,” terang Teddy lewat siaran persnya kepada pasjabar, Rabu(7/4/2020).
Di mana, lanjut Teddy hingga tanggal 6 April 2020 jumlah kasus Covid-19 di Indonesia 2.491 orang, meninggal 209 orang sehingga angka kematiannya 8,3% atau dua kali lebih besar dari angka kematian dunia 3,4 %.
Data dan Simulasi COVID-19 dipandang dari Pendekatan Model Matematika yang dilakukan oleh Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi Institut Teknologi Bandung (ITB) memprediksi jumlah yang akan terinfeksi Covid-19 hingga pertengahan April akan melampaui angka 8.000 orang (permodelan Kurva Richard).
Melalui berbagai pertimbangan psikososial dan kultural, Covid-19 diperkirakan mulai akan mereda pada bulan Juni 2020.
“Adapun hubungan antara kesehatan mental dengan Covid-19 sangat erat dan saling mempengaruhi. Contoh seseorang dengan gangguan cemas mepunyai risiko yang lebih tinggi untuk tertular karena lebih sering menyentuh benda atau bagian tubuh seperti mulut, hidung atau mata yaitu tempat terjadi penularan,” terangnya.
Hal ini, lanjut Teddy akan semakin nyata bila disertai “psikosomatik” seperti setelah mendengar atau membaca tentang Covid-19, tiba-tiba tenggorokan gatal dan nyeri, muka-hidung-mulut kesemutan dan merasa sedikit meriang meski jika diukur suhu tubuh normal Ini penyebabnya bukan tertular tetapi kecemasan yang biasanya dipicu oleh berita-berita yang kita dengar atau baca.
“Ketika krisis berlarut-larut dan isolasi tetap diberlakukan, banyak orang dihadapkan pada ketidakpastian, memicu kebosanan, kesepian, dan kemarahan. Semakin lama karantina, semakin buruk untuk kesehatan mental,” jelasnya.
Dari pengalam klinis yang serupa, sebagian besar petugas medis mengeluhkan dampak psikologis. Dalam menghadapi pandemi penyakit, sering kali tenaga medis dianggap pahlawan dan martir. Hal ini perlu berhati-hati jangan sampai mengurangi kewaspadaan keselamatan kerja. Tenaga medis yang merawat pasien Covid-19 rentan terhadap tekanan mental – terutama jika mereka harus merawat rekan sesama tenaga medis.
“Covid-19 adalah bencana yang memberi dampak terhadap kondisi fisik dan mental masyarakat. Prevalensi 12 bulan beberapa gangguan mental pada bencana. Untuk gangguan jiwa berat atau psikotik sebelum bencana 2 – 3 % dan setelah bencana naik menjadi 3-4%. Untuk gangguan jiwa ringan sampai sedang sebelum bencana 10 % naik menjadi 15 %. Distres berat bukan gangguan jiwa 30– 50 % dan distres ringan sampai sedang 20 – 40 % yang akan hilang dengan seiring waktu,” paparnya.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa masalah mental emosional yang terbanyak akibat bencana adalah distres mulai ringan sampai berat yang dengan intervensi psikososial atau pendampingan psikologik dasar akan hilang seiring berjalannya waktu Meski nantinya wabah Covid-19 ini berakhir, namun bekas luka mental dari trauma yang dialami masih dapat bertahan lama. Studi menyatakan bahkan sampai tiga bulan atau satu tahun setelah pandemi, dampak psikologis akan masih tetap ada.
“Memahami faktor – faktor yang mempengaruhi imunitas terhadap Covid -19, sama pentingnya dengan atau lebih dari memahami virus itu sendiri. Psiko-neuro-imunologi merupakan konsep terintegrasi mengenai fungsi regulasi-imun untuk mempertahankan homeostasis,” ucapnya.
Untuk mempertahankan homeostasis, sistem imun berintegrasi dengan proses psiko-fisiologik otak, dan karena itu mempengaruhi dan dipengaruhi otak. Aplikasi medis psikoneuroimunologi akan meningkatkan efektifitas terapi diantara penyakit. Stres, cemas dan depresi akan menyebabkan imunitas tubuh rendah dan hal ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Mencegah penularan dapat dilakukan dengan mempertahankan imunitas tubuh, salah satu caranya dengan mengatasi stres dan kecemasan melalui intervesi psikososial.
Adapun TPKJM Jawa Barat, ITB dan LPPM. ITB, Pusdi Infeksi FK UNPAD, Lundbeck, RS Melinda-2, Klinik Utama Surya Medika bersama – sama melakukan upaya Intervensi Psikososial pada pasien Covid-19 melalui Pendampingan virtual pasien oleh relawan, Art psychotherapy bagi pasien dan Intervensi Psikososial melalui aplikasi .
“Saat ini Covid-19 belum ada obat dan vaksin untuk pencegahannya, maka untuk mencegahnya melalui perubahan perilaku seperti menjaga jarak sosial, mencuci tangan dan menggunakan masker,” tambahnya.
Mencegah penularan yang paling tepat untuk orang Indonesia saat ini lanjut Teddy adalah dengan penegakkan aturan secara tegas. Penegakan aturan secara tegas efektif merubah perilaku untuk waktu yang singkat.
“Besar kemungkinan upaya ini akan berhasil karena didukung oleh karakteristik positif orang Indonesia yaitu mempunyai hubungan kekeluargaan yang kuat untuk saling tolong menolong, patuh pada aturan, tahan mengadapi penderitaan dan setiap daerah mempunyai kearifan lokal. Kondisi ini perlu dimanfaatkan secara optimal dalam penanggulangan Covid-19,” pungkasnya. (Tan)