BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Paguyuban Profesor Lembaga Layanan Dikti Wilayah Jawa Barat dan Banten (LLDIKTI) mendesak pemerintah agar segera memperbaiki ketentuan peraturan perundang-undangan dan proses penetapan Profesor sesuai dengan Hakikat Profesor.
Hal tersebut ditegaskan Ketua Umum Paguyuban Profesor Lembaga Layanan Dikti Wilayah Jawa Barat dan Banten, Prof.Dr.Ir.Eddy Jusuf Supardi,MSi,MKom,IPU,ASEAN Eng dalam siaran persnya kepada Pasjabar, Kamis (18/7/2023).
Dalam pernyataannya tersebut Prof. Eddy menegaskan jika secara hukum berdasarkan Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti), yang mengatur bahwa jenjang jabatan akademik Dosen tetap terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor, maka profesor merupakan jabatan akademik yang hanya boleh dimiliki oleh Dosen tetap.
Selanjutnya, di dalam Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU Dikti ditegaskan bahwa profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada Perguruan Tinggi yang mempunyai wewenang membimbing calon doktor;
“Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen UUGD), guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut Profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi; Di dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c dan huruf d UUGD diatur bahwa profesi dosen (termasuk dosen yang berjabatan akademik Profesor) merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut: memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;” paparnya.
Di samping itu, Pasal 72 ayat (5) UU Dikti mengatur bahwa Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan akademik profesor atas usul Perguruan Tinggi. Sebagai peraturan pelaksana Pasal 72 ayat (5) UU Dikti di atas, telah diterbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 38 Tahun 2021 Tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan Pada Perguruan Tinggi.
“Permendikbudristek ini bertentangan dengan Pasal 72 ayat (5) UU Dikti karena di dalam UU Dikti, khususnya Pasal 72 ayat (5), tidak diatur atau dikenal tentang Profesor Kehormatan.
Dengan demikian, menurut Prof Eddy, secara hukum jenjang jabatan akademik Profesor dilarang: diberikan kepada pihak yang bukan dosen tetap; diberikan kepada pihak yang tidak bekerja di perguruan tinggi; digunakan oleh pihak yang sudah tidak mengajar di satuan pendidikan tinggi/perguruan tinggi, apalagi pihak yang sama sekali tidak pernah mengajar di perguruan tinggi;
“Juga tidak diberikan kepada pihak yang tidak memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas, yaitu mengajar di perguruan tinggi; dan diberikan dengan tambahan sebutan ‘kehormatan’,” tegasnya.
Secara moral, menurutnya dalam pendidikan, termasuk dalam pendidikan tinggi, telah dinyatakan oleh para pendiri bangsa dan negara Indonesia dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI 1945, yang menyatakan bahwa ‘kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang mencerdaskan kehidupan bangsa’.
“Sangat jelas bahwa salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dilakukan melalui pendidikan tinggi di perguruan tinggi. Berhubung penyelenggaraan pendidikan tinggi merupakan tugas Pemerintah, maka penyelenggaraannya wajib dilakukan secara nirlaba (tidak mungkin Pemerintah mencari laba). Dengan demikian, adalah ironis apabila kenaikan jabatan akademik dosen sebagai profesor di dalam perguruan tinggi yang wajib dilakukan secara nirlaba, tetapi prosesnya dilakukan secara transaksional melalui sarana uang/materi, kekuasaan, dan kedudukan,” keluhnya.
Ia menyebutkan jika Profesor merupakan dosen tetap yang memangku jabatan akademik tertinggi di suatu perguruan tinggi. “Sebagai dosen, maka Profesor di suatu perguruan tinggi wajib mencari, menemukan, mendiseminasikan, menjunjung tinggi, dan berperilaku berdasarkan Kebenaran dan Kejujuran, bukan berdasarkan kekuasaan, kedudukan, dan uang/materi,” tuturnya.
Eddy menyebutkan jika pada dasarnya dosen, termasuk yang berjabatan akademik Profesor, tidak bisa mengajarkan kebenaran dan kejujuran kepada para mahasiswa meskipun dia mengetahui dan menghendaki agar kebenaran dan kejujuran diajarkan kepada para mahasiswa, apabila dosen tersebut sendiri tidak menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran ketika memroses jabatan akademiknya, yaitu menggunakan kekuasaan, kedudukan, dan uang/materi, serta data dan informasi yang tidak benar dan tidak jujur alias berbohong;
“Proses penilaian dan penetapan dosen untuk memangku jabatan akademik Profesor: Wajib dilakukan oleh penilai (reviewer) yang telah teruji rekam jejaknya sebagai pihak yang menjunjung tinggi kebenaran, kejujuran sehingga tidak pernah berbohong, tidak menggunakan kekuasaan, tidak tergiur oleh uang/materi; Wajib dilakukan secara transparan dan akuntabel oleh Pemerintah sesuai dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good government),” tutupnya. (*/tie)