Oleh: Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si.
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Secara historis paling tidak sejak zaman kerajaan Sunda, dalam masyarakat Sunda dikenal masyarakat desa dan masyarakat kota. Prasasti Kawali dan berita Portugis menyebut istilah dayeuh, yang berarti kota, bagi ibu kota kerajaan (Saleh Danasasmita, 1975; Djajadiningrat, 1913).
Secara sosiologis kehidupan politik masyarakat sudah lebih dulu muncul yang selanjutnya berkembang membentuk kehidupan politik pemerintah setelah terbentuknya negara. Dalam pandangan yang umum, kerap muncul persepsi bahwa kehidupan politik identik dengan adanya eksistensi negara. Padahal, sejak dulu hakikat politik sudah ada dan diterapkan dalam kehidupan politik masyarakat.
Setiap terbentuk komunitas masyarakat, seperti terbentuknya babakan, lembur, serta desa telah terbiasa dihadapkan pada proses pemilihan pimpinan, baik secara musyawarah maupun secara langsung, hingga pada teknis pembagian kerja dalam aktivitas sosial yang secara tidak langsung telah membentuk sistem politik.
Dalam kaitan sistem politik, G. Almond mengungkapkan bahwa berbicara sistem politik, maka berbicara mengenai dua hal, pertama kehidupan politik masyarakat (social political life atau disebut juga inferior structure).
Oleh karena itu, kehidupan politik masyarakat tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, tetapi memiliki pertautan hubungan yang erat dengan masyarakat itu sendiri, mengingat kehidupan politik masyarakat tidak akan ada kalau masyarakat sendiri tidak ada.
Dengan sendirinya, kehidupan politik masyarakat memilik pertautan hubungan dengan kehidupan politik pemerintah, demikian pula sebaliknya. Dalam pertautan hubungan tersebut, kehidupan politik masyarakat lebih dulu ada ketimbang kehidupan politik pemerintah, karena eksistensi negara terbentuk dengan adanya masyarakat.
Dalam konteks kehidupan politik masyarakat dan pemerintah tersebut, sejak dulu masyarakat Sunda sudah menempatkan rakyat sebagai subjek politik bukan objek politik. Hal ini dapat tergambar dari adanya keterlibatan yang maksimal dari masyarakat dalam proses pengambilan keputusan (decision making), penetapan pemimpin masyarakat, musyawarah untuk memecahkan sebuah persoalan dan pencapaian tujuan sosial, serta hal-hal lainnya.
Selain itu, fenomena tersebut juga menegaskan bahwa kehidupan politik bukan merupakan sesuatu yang asing bagi masyarakat Sunda. Politik sendiri seperti yang didefinisikan oleh Miriam Budiardjo adalah bermacam-macam kegiatan dalam unit politik untuk menentukan tujuantujuan dan usaha-usaha untuk mencapai tujuan-tujuan bagi sistem politik serta proses-proses untuk mencapai tujuan tersebut.
Dalam konteks struktur pemerintahan, dalam masyarakat Sunda telah dikenal desa yang terbentuk berdasarkan persekutuan adat sehingga disebut desa adat dan tercermin dalam ungkapan ciri sabumi cara sadesa, yang berarti tiap desa memiliki adat istiadat masing-masing. Oleh karena itu, desa merupakan lembaga otonom yang mengatur diri sendiri dan memenuhi kebutuhan. Desa merupakan suatu kesatuan sosial, kesatuan hukum, dan kesatuan ekonomi, tegasnya suatu kesatuan kebudayaan.
Sebagai lembaga otonom, desa memiliki aparatur pemerintah sendiri yang dikenal dengan sebutan pamong desa, parabot desa, atau perangkat desa. Jumlah pamong desa tidak sama di desa-desa Sunda, umumnya sekira 10 orang. Jumlah itu bergantung pada keperluan dan besar kecilnya desa. Pamong desa itu pada dasarnya terdiri atas seorang kepala desa (kuwu, jaro) yang dipilih oleh rakyat, beberapa orang kepala kampung (jaro, tua kampung, pangiwa, punduh, kokolot, kulisi), seorang atau beberapa orang juru tulis (carik) yang mengurus administrasi desa, seorang ulu-ulu (raksabumi) yang mengurus soal keamanan, amil (ketib, lebe) yang mengurus soal keagamaan, pangiwa (panglaku, panglampah, jugul, kabayan) yang bertugas menyampaikan surat, berita, atau perintah.
Apakah pemilihan kepala daerah secara langsung tersebut telah terjadi dan diterapkan oleh masyarakat Sunda dalam sejarah dan perkembangannya? Bagaimana kemungkinan perubahannya yang mengarah pada kehidupan yang lebih baik? Barangkali hal ini sangat menarik untuk menjadi wacana publik.
Untuk mengatakan bahwa apakah di tatar Sunda ini di masa lalu pemimpin masyarakat dipilih secara langsung atau tidak, bagi saya yang bukan ahli sejarah sangat sulit untuk menerobos atau menelusuri faktanya. Namun berdasarkan sumber yang saya miliki, dalam konteks historis, pada tingkat pemerintahan negara (kerajaan) tampaknya di tatar Sunda tidak pernah mengalami sebuah prosesi pemilihan pimpinan masyarakatnya yang dilakukan secara langsung. Para pemimpin formal di entitas budaya lain, terpilih karena adanya faktor-faktor feodal, yaitu keturunan atau adanya kedekatan dengan kolonial Belanda, pada masa penjajahan.
Penentuan pemimpin dalam sejarah perkembangan budaya Sunda ada tiga strata: pada rakyat, kadaleman (elite) dan entitas khusus (Baduy/Kampung Naga). Pada rakyat umum, dibagi 2 (dua): rakyat umum aliran kepercayaan terstruktur karena sejarah, contoh Madrais Teja Buana diturunkan kepada Jatikusumah dan Jatikusumah akan diturunkan lagi kepada anaknya. Pada aliran kepercayaan lain, tapi belum jadi sejarah, kepemimpinan diturunkan kepada muridnya, seperti yang dilakukan Mei Kartawinata (aliran kepercayaan Permai) tidak kepada anaknya.
Rakyat umum biasa memilih kuwu terstruktur yang dianggap tokoh, kriterianya secara spiritual di kampung itu dituakan (bisa mengobati), mengetahui sejarah lembur tersebut, sudah jadi haji serta kaya.
Pada strata kadaleman (elit), menurut struktur Bupati (budaya Jawa sesudah Sultan Agung masuk). Kewargian-kewargian memilih pimpinan berdasarkan kepada darah, seperti : Sukapura, Sumedang, Timbanganten (daerah Garut), Cianjur, Cirebon. Dalam hal tersebut, biasanya kepemimpinan diturunkan kepada anak laki-laki yang dipromosikan oleh ayahnya.
Pada kadaleman (menurut kerajaan Sunda) dimulai dari Purnawarman (abad ke-5) sampai tahun 1579 (runtuhnya Padjadjaran) dilakukan dengan banyak variasi. Pertama, anak laki-laki, bisa menantu, adik ipar, bisa anak perempuan, bisa raja pazal (raja bawahan) contoh Prabu Darmasiksa di Tasik jadi Raja Padjadjaran. Yang uniknya di Galuh, Ningrat Kencana (putra Wastukencana) melanggar aturan dengan menikahi putri Jawa yang sudah dipapacangankeun (yang sudah punya calon suami). Karena melanggar aturan, Ningrat Kancana diturunkan kedudukannya sebagai raja oleh Baresan (Dewan Kehormatan) dan digantikan oleh anaknya yaitu Jaya Dewata.
Pada strata entitas khusus (Baduy dan Kampung Naga) ada dua konsep Puun. Puun digantikan oleh anak puun atau puun digantikan oleh kalangan dari rakyat apabila anak puun dipandang tidak cakap/tidak mampu memimpin. Pemilihannya sendiri dilakukan oleh Baresan.
Walau demikian, pemilihan masyarakat dalam konteks formal yang dilakukan secara langsung, dapat dianalisis bukan pada konteks mekanisme formalnya saja, seperti mekanisme one man one vote sebab jika ditinjau dari sisi tersebut tampaknya di masa lalu tidak pernah disaksikan pemilihan pemimpin dilakukan secara langsung karena adany2 keterbatasan alat kelengkapan dan dukungan sisten yang memadai sehingga pemilihan langsung pemimpin masyarakat, dapat pula dikaji dari falsafah budaya dan karakteristik sosial masyarakat Sunda.
Esensi pemilihan pemimpin masyarakat secara langsung sesungguhnya adalah adanya ruang yang sangat luas bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses pemilihan tersebut dan keterlibatan dalam mekanisme pengawasan yang dilakukan atau keterlibatan dalam prosesproses lainnya dalam konteks kemasyarakatan dan pemerintahan.
Seperti yang diungkapkan di atas, masyarakat Sunda, pada tingkat bawah, seperti desa atau sebelumnya, sejak lama sudah terlibat pemilihan pimpinan, musyawarah untuk membahas sebuah persoalan dan mencapai tujuan, hingga pada teknis pembagian kerja dalam pengaturan aktivitas sosial, yang kemudian membentuk sistem politik. Dalam setiap kemunculan pemimpinnya, selalu menyertakan keterlibatan masyarakat dalam konteks pemilihnya maupun dalam aplikasi kepemimpinannya.
Pola atau sistem di atas, memungkinkan potensi masyarakat dan aerah menjadi teroptimalisasi. Namun potensi, karakteristik atau eterlibatan masyarakat dalam aktivitas pemerintahan, mengalami arginalisasi yang cukup hebat pada masa Orde Baru. UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah, misalnya memunculkan pola sentralistik yang mampu memporak-porandakan potensi, partisipasi, dan karakteristik sebuah masyarakat.
Pola tersebut ternyata mampu mereduksi kemampuan masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah sosial, memproyeksikan sebuah agenda pembangunan, dan hilangnya pemimpin-pemimpin yang terpilih berdasarkan kualitas dan sejalan dengan aspirasi masyarakat. Hal ini kemudian menjadi persoalan besar manakala negara atau daerah dihadapkan pada persoalan konflik sosial, krisis ekonomi, keamanan, serta persoalan lainnya, yang nyaris tidak ada pihak yang mampu memberikan solusi secara efektif dan tidak adanya figur yang dianggap representatif untuk menjadi pimpinan.
Dengan demikian, manakala muncul wacana pemilihan kepada daerah secara langsung, sesungguhnya hal tersebut dapat dipersepsikan sebagai sebuah eskalasi untuk melakukan perubahan. Persoalan yang muncul di negeri ini, sebenarnya terletak pada dinegasikannya otoritas masyarakat dalam setiap prosesi dan aktivitas pemerintahan atau sistem politik yang begitu kuat memarginalkan posisi rakyat.
Jadi implementasi pemilihan kepada daerah secara langsung, secara eskalasi akan mengembalikan kedaulatan rakyat pada posisi yang proporsional.
Dengan demikian, masyarakat akan terposisikan kembali sebagai subjek politik, serta menempatkan politik sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat yang terbaik. Di dalam politik semacam itu, manusia akan hidup bahagia karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, hidup dengan rasa kemasyarakatan yang akrab, dengan suasana moralitas yang tinggi. Harapan tersebut dapat diwujudkan dengan memulai dilakukannya pemilihan kepala daerah secara langsung. (han)