Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Sebagai prinsip metodologis, toleransi merupakan penerimaan terhadap yang tampak sampai kepalsuannya tersingkap. Dengan pengertian seperti ini, toleransi sangat relevan dengan epistemologi, di samping relevan juga dengan etika sebagai prinsip menerima apa yang dikehendaki sampai ketaklayakannya tersingkap. Yang pertama (toleransi sebagai epistemologi) disebut dengan sa’ah, sedangkan yang kedua (toleransi sebagai etika) disebut dengan yusr. Baik sa’ah atau yusr berasal dari tauhid sebagai prinsip metafisika etika. Keduanya melindungi seorang muslim dari perbuatan menutup diri terhadap duma dan dari konservatisme. Juga mendesak seorang muslim untuk menegaskan dan menyetujui kehidupan dan pengalaman baru. Di samping itu, keduanya mendorong seorang muslim untuk menyampaikan data baru dengan pikirannya yang tajam dan usahanya yang konstruktif. Dengan demikian, seorang muslim dapat memperkaya pengalaman dan, ia kehidupannya dan selalu berusaha memajukan budaya dan peradabannya.
Sebagai prinsip metodologis dalam intisari peradaban Islam, toleransi adalah keyakinan bahwa Allah SWT tidak membiarkan umat-Nya tanpa mengutus seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri. Rasul yang akan mengajarkan kepada mereka bahwa tiada Tuhan selain Allah dan mereka patut menyembah dan mengabdikan diri kepada-Nya, juga untuk member peringatan kepada mereka tentang bahaya kejahatan dan penyebabnya. Dalam hubungan ini, toleransi adalah kepastian bahwa semua manusia dikaruniai sensus-communis, yang membuat manusia dapat mengetahui agamanya yang benar serta mengetahui kehendak dan perintah Tuhannya.
Toleransi dalam agama adalah keyakinan bahwa keanekaragaman agama terjadi karena sejarah dengan semua faktor yang mempengaruhinya, juga dengan kondisi ruang dan waktunya yang berbeda termasuk prasangka, keinginan, dan kepentingannya. Di balik keanekaragaman agama tersebut, berdiri agama hanif (ad-din al-hanif), agama fitrah Allah manusia lahir bersamanya sebelum akulturasi membuat manusia menganut agama ini atau itu. Toleransi menuntut seorang muslim untuk mempelajari sejarah agama-agama dengan tujuan untuk menemukan karuma awal Tuhan yang diajarkan oleh Rasul-Nya di setiap tempat dan waktu. Toleransi mengubah konfrontasi dan saling mengutuk antaragama menjadi kerja sama dalam melaksanakan penelitian ilmiah tentang asalusul dan perkembangannya dengan tujuan memisahkan penambahan hustoris dari wahyu awal yang diterima.
Toleransi sebagai etika (yusr) berfungsi untuk mengebalkan seorang muslim dari kecenderungan menolak realita kehidupan dunia, juga membuatnya memiliki sifat optimisme yang diperlukan untuk menjaga kesehatan, keseimbangan, dan kebersamaan meskipun kehidupan umat manusia ditimpa berbagai tragedi dan penderitaan. Allah menjamin semua makhluk-Nya bahwa setelah “kesulitan akan ada baginya kemudahan” (inna ma’al ‘usri yusra), agar manusia dapat membuktikan dirinya berguna dan telah membuatnya bebas serta mampu bertindak positif di dunia. (han)