Oleh: Firdaus Arifin, Dosen Yayasan Pendidikan Tinggi Pasundan Dpk FH UNPAS
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Dalam sebuah negara hukum, supremasi hukum bukan sekadar semboyan atau konsep yang abstrak. Ini adalah dasar utama yang menentukan kelangsungan demokrasi dan keadilan dalam suatu negara. Salah satu lembaga yang memiliki peran penting dalam menjaga supremasi hukum di Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagai penjaga konstitusi, MK memiliki wewenang untuk memastikan bahwa undang-undang dan tindakan pemerintah tidak melanggar konstitusi, yang merupakan hukum tertinggi dalam negara ini (the supreme law of the land).
Sejak berdirinya pada tahun 2003, MK telah menjadi benteng terakhir (the last bastion) dalam menegakkan konstitusi, dengan wewenang untuk menguji undang-undang, menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara, dan menangani sengketa hasil pemilihan umum Pasal 24C Ayat 1 UUD 1945. Keberadaan MK mencerminkan upaya negara untuk memastikan bahwa konstitusi dihormati dan ditaati oleh semua pihak tanpa pengecualian.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pelaksanaan putusan MK sering menjadi masalah serius dalam sistem hukum kita. Banyak putusan MK yang seharusnya bersifat final dan mengikat, tetapi justru diabaikan atau tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh lembaga negara dan pemerintah. Kondisi ini tidak hanya merusak otoritas dan marwah MK tetapi juga mengancam integritas dan keberlanjutan prinsip negara hukum yang kita anut sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945
Putusan MK Final dan Mengikat
MK dibentuk sebagai salah satu pilar utama dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca-reformasi (hasil amandemen ke 3). Keberadaan MK menegaskan bahwa setiap tindakan pemerintah dan produk legislasi harus tunduk pada prinsip-prinsip yang secara tegas digariskan oleh konstitusi. Wewenang MK, yang meliputi pengujian undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, hingga menangani sengketa hasil pemilu, menunjukkan betapa strategisnya peran MK dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan memastikan keadilan hukum di republik ini.
Putusan MK bersifat final dan mengikat, artinya tidak ada mekanisme hukum lebih lanjut yang dapat digunakan untuk menggugat atau mengubah putusan tersebut. Prinsip ini harus dipahami dan dihormati oleh semua pihak. Ketika MK memutuskan bahwa suatu undang-undang atau kebijakan bertentangan dengan UUD, maka putusan tersebut harus dijalankan tanpa kecuali.
Namun, meskipun putusan MK memiliki kekuatan hukum yang kuat, realitas menunjukkan bahwa tidak semua putusan tersebut dilaksanakan dengan baik. Ada beberapa kasus di mana pemerintah atau lembaga legislatif cenderung mengabaikan putusan MK atau menunda pelaksanaannya dengan berbagai alasan. Misalnya, putusan MK yang membatalkan bagian tertentu dari undang-undang sering kali direspon dengan tindakan legislasi ulang yang secara esensial tidak jauh berbeda dari yang dibatalkan.
Tindakan semacam ini bukan hanya mencerminkan ketidakpatuhan terhadap hukum, tetapi juga menimbulkan preseden buruk yang dapat merusak integritas sistem hukum secara keseluruhan. Jika putusan MK tidak dijalankan, ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan pemerintah.
Sulitnya Menegakkan Putusan MK
Ada beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya penegakan putusan MK di Indonesia. Pertama, resistensi politik sering kali menjadi penghalang utama. Ketika putusan MK dianggap tidak sejalan dengan kepentingan politik tertentu, ada kecenderungan untuk mengabaikan atau menghambat implementasinya. Hal ini menunjukkan bagaimana dinamika politik dapat mempengaruhi penegakan hukum, terutama dalam konteks putusan MK yang sering kali bersinggungan langsung dengan kepentingan politik yang dominan.
Kedua, kelemahan dalam mekanisme pengawasan pelaksanaan putusan MK juga menjadi faktor krusial. Saat ini, tidak ada mekanisme yang efektif untuk memastikan bahwa putusan MK dijalankan sesuai dengan amanatnya. Meskipun MK memiliki wewenang untuk melakukan monitoring, kekuatan lembaga ini terbatas dalam hal eksekusi. Akibatnya, banyak putusan MK yang terabaikan atau hanya diimplementasikan secara parsial.
Ketiga, rendahnya kesadaran hukum di kalangan birokrasi dan masyarakat umum juga berkontribusi pada lemahnya penegakan putusan MK. Tidak semua pihak memahami betapa pentingnya putusan MK dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan menegakkan keadilan. Ketika kesadaran hukum rendah, akan sulit untuk menuntut kepatuhan terhadap putusan MK.
Ketidakpatuhan terhadap putusan MK membawa implikasi serius bagi sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia. Pertama, hal ini merusak otoritas MK sebagai lembaga yudikatif tertinggi yang bertugas menjaga konstitusi. Ketika MK dianggap tidak memiliki kekuatan untuk menegakkan putusannya, ini akan melemahkan posisi MK di mata publik dan lembaga negara lainnya.
Kedua, ketidakpatuhan terhadap putusan MK menciptakan ketidakpastian hukum. Dalam negara hukum, kepastian hukum adalah salah satu elemen penting yang harus dijaga. Ketika putusan MK tidak dilaksanakan, hal ini menciptakan kekacauan hukum yang pada akhirnya merugikan masyarakat.
Ketiga, hal ini dapat mengarah pada krisis konstitusional. Jika putusan MK terus-menerus diabaikan, maka konstitusi sebagai hukum tertinggi di negara ini juga akan kehilangan maknanya. Dalam jangka panjang, krisis konstitusional ini dapat mengancam stabilitas politik dan hukum negara.
Strategi Menegakkan Putusan MK
Untuk mengatasi tantangan dalam menegakkan putusan MK, diperlukan strategi yang komprehensif dan berkelanjutan. Pertama, perlu ada upaya untuk memperkuat mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan putusan MK. MK harus diberikan wewenang yang lebih besar untuk memastikan bahwa putusannya dijalankan, termasuk kemungkinan pengenaan sanksi bagi pihak-pihak yang tidak patuh. Kedua, peningkatan kesadaran hukum di kalangan pejabat pemerintah, legislatif, dan masyarakat umum harus menjadi prioritas. Pendidikan hukum yang lebih baik akan meningkatkan pemahaman tentang pentingnya putusan MK dan kewajiban untuk menaatinya. Selain itu, media massa juga memiliki peran penting dalam menyosialisasikan putusan MK dan memantau pelaksanaannya.
Ketiga, penting untuk mendorong kolaborasi antar-lembaga dalam menegakkan putusan MK. Lembaga legislatif dan eksekutif harus bekerja sama dengan MK untuk memastikan bahwa setiap putusan dijalankan dengan baik. Ini termasuk komitmen dari DPR untuk tidak mengesahkan undang-undang baru yang bertentangan dengan putusan MK. Keempat, masyarakat sipil juga harus dilibatkan secara aktif dalam pengawasan pelaksanaan putusan MK. Partisipasi publik dapat menjadi kekuatan pendorong untuk memastikan bahwa putusan MK tidak diabaikan. Dengan dukungan publik yang kuat, pemerintah dan lembaga negara akan memiliki insentif yang lebih besar untuk mematuhi putusan MK.
Akhirnya, menegakkan putusan MK bukanlah sekadar kewajiban hukum, tetapi juga tanggung jawab moral dalam menjaga kelangsungan negara hukum di Indonesia. Ketidakpatuhan terhadap putusan MK tidak hanya merusak kewibawaan MK sebagai pengawal konstitusi, tetapi juga mengancam integritas sistem hukum nasional secara keseluruhan. Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama dari semua elemen negara, termasuk pemerintah, legislatif, yudikatif, dan masyarakat sipil, untuk memastikan bahwa setiap putusan MK dihormati dan dilaksanakan. Hanya dengan demikian kita dapat mewujudkan cita-cita negara hukum (rechtstaats) yang sejati di Indonesia. (han)