Oleh: Ketua Umum Pengurus Besar Paguyuban Pasundan, Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – (BANDUNG, (PR).) Memerangi radikalisme atau terorisme bukan hanya persoalan melawan orang, kelompok, dan jaringannya. Hal yang yang lebih menyentuh persoalan adalah memerangi paham dan ajaran kebencian atau kekerasan. Betapa pun besarnya upaya yang dilakukan jika tidak menyentuh akar persoalan tersebut, penanggulangan radikalisme atau terorisme tidak cukup signifikan.
Demikian disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Paguyuban Pasundan M Didi Turmudzi dalam perbincangan di ruang kerjanya, Senin (21/5/2018). Didi dimintai pendapatnya ihwal kembali menyeruaknya aksi terorisme berupa bom bunuh diri yang kali ini justru melibatkan pelaku dari kelompok mapan secara ekonomi, bahkan menyertakan anak-anak mereka.
Pada Selasa (22/5/2018) ini, Universitas Islam Bandung dan HU Pikiran Rakyat juga menggelar FGD “Peran Kampus dalam Menangkal Radikalisme” di Aula Pikiran Rakyat Jalan Asia Afrika 77 Kota Bandung.
”Paham kebencian dan kekerasan tersebut adalah akar yang menciptakan gerakan, aktivitas, dan aksi terorisme atau radikalisme di Indonesia. Seringkali paham tersebut diembuskan atas nama agama, Sehingga individu, kelompok, serta masyarakat yang rentan terhadap penyusupan paham negatif adalah mereka yang kemampuan pengetahuan keagamaannya sangat minim,” kata Didi Turmudzi.
Didi menegaskan ada asumsi yang juga didukung fakta bahwa pelaku martir dalam gerakan kaum radikal seperti serangan bom dilakukan oleh orang-orang yang teralienasi, frustrasi, tertindas, dan level bawah dalam struktur masyarakat. ”Jika itu saja sudah menimbulkan ketakutan, mengerikan dan menghujam nurani kemanusiaan, bagaimana jadinya kalau hal itu dilakukan oleh kelompok relatif mapan dan kalangan intelektual? Tentu dampaknya akan lebih besar,” ujar Didi yang juga Direktur Pascasarjana Universitas Pasundan.
Tipologi inilah, kata dia, yang disebut dengan neofundamentalisme atau fundamentalisme kontemporer. Neofundamentalisme bangkit sebagai reaksi terhadap penetrasi sistem dan nilai sosial, budaya, politik dan ekonomi Barat. “Baik sebagai akibat kontak langsung dengan Barat maupun melalui pemikir muslim atau rezim pemerintahan Muslim yang menurut kaum fundamentalis merupakan perpanjangan tangan Barat,” ujarnya.
Kampus
Lebih jauh disampaikan bahwa salah satu problem terkini yang menjadi ancaman serius kelompok mahasiswa adalah bahaya laten radikalisme atau terorisme. Dari masa ke masa di lingkungan kampus hampir selalu ada kelompok radikal baik ekstrem kanan maupun ektrem kiri yang disebut kaum neofundamentalis itu.
”Sebetulnya, agak paradoks kalau kalangan kampus menerima dan mendukung ideologi gerakan kaum radikal yang sifatnya sangat doktriner, eksklusif dan menggunakan metode brain washing. Hal itu bertentangan dengan tradisi ilmiah yang lebih terbuka, kritis, inklusif, rasional, verifikatif bahkan falsifikasi dalam menerima suatu kebenran dan apalagi paham,” ujarnya.
Kendati persentansenya kecil, gerakan radikal, terutama yang ekstrem, yang melibatkan kalangan kampus, harus dapat dideteksi sejak dini dan dilumpuhkan dari awal, “Sebab, meskipun kecil tetapi efeknya akan sangat besar dalam meruntuhkan nilai dan etika akademis, akal sehat, toleransi, dan nurani kemanusiaan,” katanya menegaskan. (han)