Oleh: Firdaus Arifin, Dosen Fakultas Hukum Unpas & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat (Pemerintahan Desa)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Pemerintahan desa merupakan entitas pemerintahan yang memiliki kedudukan strategis dalam sistem desentralisasi di Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan serta kepentingan masyarakat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat. Namun, dalam praktiknya, desa kerap mengalami tarik ulur kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan kepentingan politik lokal.
Sebagai bagian dari otonomi daerah, pemerintahan desa diharapkan menjadi ujung tombak pembangunan berbasis komunitas. Sayangnya, dinamika politik dan birokrasi sering kali menghambat tujuan tersebut. Tulisan sederhana ini akan mengulas peran pemerintahan desa dalam kerangka otonomi daerah, tantangan yang dihadapi, serta solusi hukum dan kebijakan untuk memperkuat desa sebagai pilar demokrasi lokal.
Desentralisasi dan Otonomi Desa
Konsep desentralisasi di Indonesia bertumpu pada tiga pilar utama: desentralisasi politik, desentralisasi administratif, dan desentralisasi fiskal. Pemerintahan desa berada dalam irisan ketiganya. Melalui UU Desa, desa diberikan status sebagai entitas pemerintahan dengan kewenangan yang relatif luas. Namun, desa bukanlah daerah otonom dalam arti yang sama dengan provinsi dan kabupaten/kota. Desa tetap menjadi bagian dari sistem pemerintahan daerah yang berada dalam koordinasi pemerintah kabupaten/kota.
Dalam sistem otonomi daerah, desa memiliki ruang untuk mengelola sumber daya, baik yang bersumber dari Dana Desa (APBN) maupun Alokasi Dana Desa (APBD). Namun, dalam praktiknya, desa masih terjebak dalam ketergantungan fiskal terhadap pusat dan daerah. Akibatnya, banyak desa yang belum mampu berdaya secara ekonomi dan administratif.
Sejatinya, otonomi desa yang ideal adalah desa yang mampu membangun sistem pemerintahan yang partisipatif, responsif, dan mandiri. Namun, kondisi di lapangan menunjukkan bahwa banyak desa yang masih menghadapi kendala birokrasi yang kompleks serta intervensi dari aktor-aktor politik di tingkat daerah.
Tantangan Pemerintahan Desa
- Dualisme Kewenangan dan Intervensi Pemerintah Daerah
Meskipun UU Desa memberikan kewenangan bagi desa untuk mengatur urusannya sendiri, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah daerah masih memiliki kontrol kuat terhadap desa. Banyak kebijakan di tingkat kabupaten/kota yang membatasi kewenangan desa, termasuk dalam pengelolaan keuangan dan penyusunan program pembangunan desa.
Intervensi politik juga menjadi tantangan. Kepala desa kerap menjadi objek kepentingan politik lokal, baik dalam Pilkada maupun kepentingan legislatif daerah. Politisasi desa ini membuat banyak kebijakan desa tidak lagi berpihak pada kepentingan masyarakat, melainkan lebih pada kepentingan elite lokal.
- Ketergantungan Fiskal dan Kelemahan Pengelolaan Keuangan
Sumber pendapatan desa yang utama berasal dari Dana Desa dan Alokasi Dana Desa. Namun, banyak desa yang belum mampu mengelola keuangan dengan baik. Masalah transparansi dan akuntabilitas masih menjadi persoalan utama dalam pengelolaan Dana Desa.
Selain itu, banyak desa yang tidak memiliki kapasitas sumber daya manusia yang memadai dalam tata kelola keuangan. Akibatnya, desa kerap menjadi sasaran audit dan temuan pelanggaran dalam pengelolaan dana.
- Korupsi dan Penyalahgunaan Dana Desa
Sejak diberlakukannya Dana Desa, banyak kasus korupsi yang melibatkan kepala desa dan perangkat desa. Modusnya beragam, mulai dari mark-up proyek pembangunan, fiktifnya laporan pertanggungjawaban, hingga praktik nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa di tingkat desa.
Data dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa kasus korupsi Dana Desa meningkat setiap tahun. Hal ini menunjukkan bahwa belum ada sistem pengawasan yang efektif dalam mencegah penyalahgunaan dana.
- Lemahnya Partisipasi Masyarakat
Desa diharapkan menjadi model demokrasi partisipatif yang melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Namun, dalam banyak kasus, musyawarah desa sering kali hanya menjadi formalitas belaka. Keputusan-keputusan penting sering didominasi oleh kepala desa dan perangkatnya tanpa partisipasi yang memadai dari masyarakat.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya literasi politik dan hukum masyarakat desa. Akibatnya, masyarakat tidak memiliki kontrol yang kuat terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah desa.
Penguatan Pemerintahan Desa
Untuk memperkuat pemerintahan desa sebagai bagian dari otonomi daerah, perlu adanya reformasi kebijakan dan sistem pengelolaan pemerintahan desa. Berikut beberapa solusi yang dapat dilakukan:
- Penguatan Kewenangan Desa yang Lebih Mandiri
Pemerintah pusat dan daerah perlu memberikan ruang yang lebih luas bagi desa untuk mengelola kewenangannya sendiri tanpa intervensi berlebihan. Kewenangan desa harus diperjelas dan diperkuat dalam regulasi agar tidak tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah daerah.
Desa juga perlu diberikan kebebasan dalam menetapkan prioritas pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Regulasi yang membatasi kreativitas dan inovasi desa harus dievaluasi agar desa lebih fleksibel dalam mengelola sumber daya.
- Reformasi Tata Kelola Keuangan Desa
Untuk mengatasi persoalan ketergantungan fiskal dan korupsi, pemerintah perlu memperkuat sistem akuntabilitas keuangan desa. Salah satu caranya adalah dengan mendorong penggunaan teknologi dalam transparansi anggaran.
Pemerintah juga perlu memperkuat kapasitas kepala desa dan perangkatnya dalam pengelolaan keuangan melalui pelatihan dan pendampingan. Selain itu, perlu ada mekanisme pengawasan yang lebih independen untuk memastikan Dana Desa digunakan sesuai dengan peruntukannya.
- Pemberantasan Korupsi Dana Desa
Pemerintah harus meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap penyalahgunaan dana desa. Salah satunya dengan membentuk sistem pelaporan berbasis komunitas agar masyarakat desa bisa lebih aktif dalam mengawasi penggunaan anggaran desa.
Sanksi bagi kepala desa dan perangkat yang terbukti korupsi juga harus diperberat agar menimbulkan efek jera. Selain itu, perlu ada insentif bagi desa yang mampu mengelola dana dengan baik sebagai bentuk apresiasi terhadap kinerja yang transparan dan akuntabel.
- Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pemerintahan Desa
Demokrasi desa harus diperkuat dengan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Musyawarah desa harus menjadi forum deliberatif yang benar-benar inklusif dan representatif.
Literasi politik dan hukum di tingkat desa juga harus ditingkatkan agar masyarakat mampu mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan desa. Peran organisasi masyarakat sipil dalam pendampingan desa juga perlu diperkuat untuk memastikan partisipasi masyarakat berjalan dengan baik.
Pemerintahan desa merupakan elemen penting dalam sistem otonomi daerah di Indonesia. Namun, berbagai tantangan masih menghambat efektivitas pemerintahan desa, mulai dari intervensi politik, ketergantungan fiskal, korupsi, hingga lemahnya partisipasi masyarakat.
Perkuat Pilar Demokrasi Lokal
Untuk memperkuat desa sebagai pilar demokrasi lokal, perlu ada reformasi kebijakan yang lebih progresif. Penguatan kewenangan desa, transparansi tata kelola keuangan, pemberantasan korupsi, dan peningkatan partisipasi masyarakat adalah langkah-langkah krusial yang harus dilakukan.
Jika desa mampu menjalankan perannya dengan baik, maka pemerintahan desa akan menjadi fondasi yang kokoh bagi pembangunan daerah dan nasional. Otonomi desa bukan sekadar kebijakan administratif, tetapi juga kunci keberhasilan demokrasi dan kesejahteraan masyarakat di tingkat akar rumput. (han)