BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Ensiklopedia bertajuk Pedoman Kota Besar Bandung (1956) karangan Toto Kartaatmadja dan Nara Sukirna mengulas ihwal penyematan “Bandung” sebagai nama wilayah. Dijelaskan, nama Bandung paling awal dipakai pada tahun 1448 M atau masa Kerajaan Pajajaran.
Nandang Rusnandar dalam jurnal Patanjala (Vol. 2, 2010) dengan judul artikel “Sejarah Kota Bandung dari ‘Bergdessa’ (Desa Udik) Menjadi Bandung ‘Heurin Ku Tangtung’ (Metropolitan)” mengisahkan pemukiman pertama yang mendiami Bandung.
Pada 1641, seorang Mardjiker Portugis (mantan budak berkulit hitam) bernama Julian de Silva menulis catatan harian Dagresgister yang bunyinya, “Aen een negorij genaemt Bandong, bestaende uijt 25 ‘a 30 huysen …” yang berarti, “Ada sebuah negeri dinamakan Bandong yang terdiri dari 25 sampai 30 rumah ….”
Mardjiker itu memperkirakan satu rumah terdiri dari 4 orang anggota keluarga, sehingga ada sekitar 100—120 jiwa yang menghuni wilayah tersebut. Namun, posisi pasti pemukiman yang dimaksud tidak dijelaskan lebih lanjut.
Perkembangan Wilayah Bandung dalam Kekuasaan Kerajaan
Menurut A. Sobana dalam sebuah wawancara oleh Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik (14 Oktober 2011), sebelum wilayah Bandung benar-benar berdiri, wilayah itu disebut Tatar Ukur. Konon, Tatar Ukur merupakan wilayah kecil dari Kerajaan Timbanganten, yang merupakan bagian dari Kerajaan Pajajaran.
Tatkala Pajajaran runtuh (1579/1580), Timbanganten kemudian berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang. Sewaktu terjadi ekspansi Islam besar-besaran dari arah barat (Kerajaan Banten) dan timur (Kerajaan Mataram), Sumedanglarang yang berskala kerajaan kecil memilih untuk melebur ke Kerajaan Mataram Islam pada 1620, semasa Sultan Agung berkuasa.
Usai tunduk di bawah pemerintahan Mataram, statusnya berubah menjadi Kadipaten Priangan. Sultan Agung menunjuk Rangga Gempol I alias Raden Aria Suriadiwangsa sebagai Bupati Wedana (bupati kepala) di Priangan (1620—1624). Wilayah itu dijadikan oleh Mataram sebagai barikade terluar untuk menghalau ekspansi Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan Kesultanan Banten.
Suatu ketika, Sultan Agung mengutus Rangga Gempol I untuk menaklukkan Sampang di Madura. Ketika Rangga Gempol I pergi, ia mengamanahkan saudaranya, Dipati Rangga Gede, untuk mengurus wilayah Priangan. Namun, pasukan Banten menyerang Priangan, dan Dipati Rangga Gede gagal mempertahankannya. Akibatnya, ia dilengserkan dan digantikan oleh Dipati Ukur.
Dipati Ukur dihadapkan pada tugas berat: selain mengatur urusan Priangan, ia juga diperintahkan untuk menaklukkan wilayah Banten. Namun, pasukannya justru dikalahkan oleh Banten. Menyadari bahwa melaporkan kekalahan ini ke Sultan Agung bisa berakibat fatal, Dipati Ukur melarikan diri dengan sisa pasukannya. Sultan Agung segera mengirim pasukan untuk menangkapnya. Dipati Ukur akhirnya ditangkap di Gunung Lumbung pada 1632 dan dijatuhi hukuman mati.
Setelah kejadian tersebut, jabatan Bupati Wedana Priangan dikembalikan kepada Dipati Rangga Gede. Namun, wilayah Priangan dianggap terlalu luas untuk dikelola satu kabupaten. Oleh karena itu, Kesultanan Mataram melakukan reorganisasi wilayah. Daerah di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten: Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakamuncang, dan Kabupaten Sukapura.
Reorganisasi wilayah ini tertuang dalam Piagam Sultan Agung yang bertanggal 9 Muharam tahun Alip. Berdasarkan perhitungan Dr. F. de Haan (1912), tanggal ini disetarakan dengan 20 April 1641. Tanggal tersebut kemudian ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung sebagai hari jadi Kabupaten Bandung (SK DPRD Kabupaten Bandung Nomor 10/KPTS/DPRD/1973 tanggal 18 April 1973).