
Oleh: Deden Ramdan, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UNPAS (Tantangan Kepala Daerah)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Sebanyak 481 Kepala Daerah yang terdiri dari Gubernur/Wakil Gubernur, Wali Kota/Wakil Walikota, Bupati/Wakil Bupati di seluruh Indonesia akan dilantik serentak oleh Presiden Prabowo Subianto di Jakarta, 20 Februari 2025, tentu ucapan selamat diberikan kepada yang akan dilantik. Namun dibalik semua itu ada pertanyaan yang menggelitik: Mampukah Bupati, Walikota dan Gubernur terlantik tersebut menghadirkan sosok pemimpin sejati yang mampu mengidentifikasi persoalan riil substantif di daerah seperti persoalan kemiskinan, pengangguran, rendahnya angka partisipasi kasar (APK), rendahnya daya beli masyarakat, persoalan kesehatan masyarakat, problem infrastruktur serta sejumlah masalah lainnya yang membutuhkan sosok kepada daerah yang jujur, amanah, visioner dan bertanggung jawab serta mengedepankan sosok pamong praja bukan pangreh praja.
Ini dianggap penting karena terkait sikap dasar pejabat publik yang sejatinya harus ngemong, melindungi & melayani masyarakat serta menjadi penyelesai masalah. Dimana hal tersebut menurut penulis adalah faktor utama dalam menghadapi dan menyelesaikan tuntutan riil tersebut. Namun faktanya sikap tersebut sepertinya cenderung masih langka dan seolah menjadi barang mahal dan yang justru berkembang kesan: Alih-alih persepsi positif yang hadir tapi malah sikap minor cenderung negatif terhadap Kepala Daerah sebagai pejabat publik ini, yang ironinya persepsi negatif ini terus mengalir. Mulai dari gaya hidup mewah, hingga perilaku yang cenderung korup dan tidak memiliki sikap kenegarawanan yang sejatinya harus mengedepankan kepentingan rakyat secara utuh.
Sikap
Fenomena yang terjadi jarang pejabat publik yang bersikap negarawan tapi malah kebanyakan tetap dengan sikap politikus yang lebih mementingkan keperluan pribadi, golongan dan partainya, tidak sedikit Kepala Daerah yang bertindak sebagai Raja-Raja lokal yang korup dan melanggar aturan serta mengabaikan etika publik. Padahal mereka seharusnya memberi contoh dan teladan yang baik. Sehingga kadang kepentingan kelompok atau partai dapat mengalahkan kepentingan negara, sehingga pada gilirannya negara dan rakyatlah yang dirugikan. Pejabat juga kerap mencampur adukan urusan pribadi dan dinas, sehingga kepentingan umum dirugikan.
Tatkala berbicara tentang perilaku pejabat publik memang seolah tidak ada habisnya untuk dibincangkan. Misalnya, soal gaya hidup mewah pejabat yang disorot, karena disaat rakyat masih banyak yang membutuhkan dan berkekurangan, disisi lain fasilitas pejabat berlimpahan, gaya hidup mewah jadi pilihan dan celakanya gaya hidup mewah ini dipertontonkan kepada publik tanpa merasa bersalah seolah itu dianggap lumrah dan wajar.
Beberapa sikap dan kepribadian yang harus dipegang oleh Kepala Daerah sebagai pejabat publik dalam pelayanan publik, antara lain: Jujur dalam melaksanakan tugas, Mengutamakan kepentingan publik daripada kepentingan pribadi, Menghormati kepercayaan publik, Menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
Etika publik memiliki beberapa fungsi, yaitu:
- Sebagai bantuan dalam menimbang pilihan sarana kebijakan publik
- Sebagai alat evaluasi yang memperhitungkan konsekuensi etisnya
- Menjembatani antara norma moral dan tindakan
Perlu juga dipahami Paradigma pemerintahan sekarang semua negara di muka bumi ini dituntut dan berkewajiban. Untuk mengembangkan dan membangun “green government” atau pemerintahan hijau. Semua lembaga-lembaga pemerintahan baik di tingkat nasional maupun sub nasional atau pemerintahan daerah wajib untuk membangun green government ini. Dengan melakukan pembangunan berkelanjutan (“sustainable development”), pembangunan yang memperhatikan lingkungan hidup. Dengan memberdayakan segala potensi yang ada, serta memberdayakan kearifan lokal yang ada di setiap daerah. Untuk daerah Bali kiranya dengan semakin memberdayakan konsep Tri Hita Karana, yang masih relevan untuk mendukung green government itu. Sebagai tindak lanjut hasil KTT iklim di Paris 2015. Bagi daerah-daerah yang mengandalkan PADnya dari hasil tambang, atau sumber daya alam lainnya kiranya mulai mencari alternatif lain. Sehingga lingkungan alam kita (sumber daya alam) kita tetap terjaga. Misalnya PAD, dari hasil galian “C”, atau pertambangan lainnya hendaknya benar-benar diperhatikan, bila perlu dibatasi supaya jangan merusak alam itu sendiri.
Dengan demikian terkandung sebuah isyarat keras bahwa Para Kepala Daerah terlantik dituntut untuk mengedepankan sikap transparan dan akuntabel dalam bekerja. Serta mampu mengemban tugas sesuai amanat konstitusi, serta berpegang pada prinsip-prinsip good governance. Dimana kebijakannya betul-betul menyentuh kebutuhan masyarakat dan kepentingan rakyat seutuhnya. Semoga. (Tantangan Kepala Daerah). (han)