Oleh: Firdaus Arifin, Dosen YPT Pasundan Dpk. FH Unpas (Retorika)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Di negeri yang gemar berpesta kata-kata, kita belajar satu hal: janji lebih sering menjadi ornamen daripada amanah. Kata-kata dikumandangkan dengan khidmat, diarak dalam parade pidato, ditulis dalam dokumen negara, disebarluaskan di media sosial—tetapi berapa banyak yang benar-benar dilakukan?
Tuhan tidak percaya pada retorika.
Al-Qur’an mencatat dengan tegas:
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Saff: 3)
Ayat ini bukan sekadar teguran bagi mereka yang berkuasa, bukan hanya kritik bagi para pemimpin yang bertabur janji, melainkan juga cermin bagi kita semua. Sebab, dalam kadar yang berbeda, kita sering hidup dalam perbedaan antara kata dan laku.
Negeri yang Tenggelam dalam Kata-Kata
Di ruang politik, janji-janji telah menjadi barang murah. Para politisi dengan fasih berbicara tentang kesejahteraan rakyat, tentang pemberantasan korupsi, tentang keadilan sosial—tetapi kebijakan yang lahir lebih sering menguntungkan segelintir.
Di panggung keagamaan, kita mendengar khutbah tentang moralitas, kejujuran, dan kepedulian, tetapi korupsi, intoleransi, dan keangkuhan tetap merajalela.
Di dunia akademik, ilmu pengetahuan dikultuskan sebagai jalan menuju kebenaran, tetapi konflik kepentingan, plagiarisme, dan manipulasi data tetap terjadi.
Di ruang keluarga, orang tua mengajarkan kejujuran kepada anak-anaknya, tetapi mereka sendiri sering berbohong demi alasan pragmatis.
Begitulah cara kita hidup: kata-kata menjadi mata uang yang terus diperdagangkan, tetapi nilainya semakin menipis.
Agama yang Diturunkan, Bukan Ditarik ke Atas
Islam bukan agama yang dilahirkan dari teori dan konsep abstrak, tetapi dari tindakan yang nyata. Nabi Muhammad bukan hanya berbicara tentang keadilan—beliau menegakkannya, bahkan ketika itu berarti menjatuhkan hukuman kepada orang terdekatnya. Ia tidak hanya menyerukan kesetaraan—tetapi juga hidup bersama para budak yang ia bebaskan.
Dalam sejarah Islam, para ulama besar tidak hanya sibuk menulis kitab, tetapi juga hadir di tengah masyarakat, mempraktikkan ilmu mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Tetapi hari ini, agama kerap ditarik ke atas, menjauh dari realitas. Islam menjadi wacana akademik, narasi politik, alat propaganda, tetapi jarang menjadi kehidupan yang nyata. Kita terjebak dalam perdebatan panjang tentang fiqh, tetapi lupa pada esensi: kejujuran, kerja keras, dan ketulusan.
Tuhan tidak tertarik pada pidato kita tentang keadilan jika kita tetap membiarkan ketidakadilan berlangsung di depan mata. Tuhan tidak peduli pada seruan kita tentang persatuan jika kita tetap membangun tembok-tembok perpecahan.
Retorika di Dunia Politik
Di ruang parlemen, di istana negara, di layar televisi, kita menyaksikan teater besar: janji-janji digelar seperti pementasan drama, setiap kata disusun dengan hati-hati agar terdengar menggugah. Tetapi kita tahu, banyak di antara janji itu hanya akan tinggal sebagai arsip pidato, mengendap dalam ingatan sebentar, lalu lenyap.
Politik kita adalah politik retorika. Kita sering memilih pemimpin bukan karena tindakan nyata mereka, tetapi karena kefasihan mereka berbicara. Seorang kandidat yang sederhana dan bekerja dalam diam sering kali kalah dari mereka yang memiliki tim komunikasi canggih.
Di sini, kebenaran bukan lagi soal fakta, tetapi soal bagaimana ia dikemas. Kebohongan bisa tampak meyakinkan jika diucapkan dengan cukup percaya diri.
Tuhan tidak percaya pada retorika, tetapi manusia sering kali mempercayainya.
Dari Kata ke Tindakan
Jika agama hanyalah kata-kata, ia tidak akan bertahan selama berabad-abad. Islam bertahan bukan karena ia memiliki kitab yang indah, tetapi karena ada manusia-manusia yang mewujudkannya dalam tindakan.
Umar bin Khattab tidak dikenal karena pidato-pidatonya, tetapi karena keberaniannya berjalan di malam hari, melihat sendiri kehidupan rakyatnya. Ali bin Abi Thalib tidak dikenang karena retorikanya, tetapi karena integritasnya yang tak tergoyahkan.
Mereka memahami satu hal: bahwa perkataan hanya memiliki makna sejauh ia diwujudkan dalam perbuatan.
Di dunia modern, kita membutuhkan lebih banyak orang seperti mereka. Kita tidak membutuhkan lebih banyak seminar tentang integritas, tetapi lebih banyak pejabat yang menolak suap. Kita tidak butuh lebih banyak pidato tentang keadilan, tetapi lebih banyak hakim yang berani menegakkan hukum tanpa takut intervensi. Kita tidak butuh lebih banyak wacana tentang kemiskinan, tetapi lebih banyak kebijakan yang benar-benar membantu kaum miskin.
Saatnya Berhenti Berbicara, Saatnya Bertindak
Ada sebuah hadits yang berbunyi: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.” Tidak dikatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling fasih berbicara, paling sering berkhotbah, atau paling banyak menulis. Tetapi mereka yang bertindak.
Tuhan tidak percaya pada retorika, tetapi kita sering kali mempercayainya. Kita tertipu oleh kata-kata yang indah, oleh pidato yang menggugah, oleh narasi yang menyentuh hati.
Mungkin, saatnya kita berhenti menjadi bangsa yang gemar bicara dan mulai menjadi bangsa yang berbuat. Sebab, sejarah tidak ditulis oleh mereka yang pandai berkata-kata, tetapi oleh mereka yang berani bertindak. (han)