
Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si., Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan (Hak Asasi Manusia dalam Islam dalam buku Wawasan Islam)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Hak asasi manusia (HAM) menjadi isu di seluruh dunia dan bersifat universal. PBB telah menetapkan deklarasi hak asasi manusia (Declaranon Of Human Right) yang mengikat seluruh negara anggotanya.
Berbicara tentang hak asasi manusia selalu berkaitan dengan landasan nilai yang menjadi dasarnya. Oleh karena itu, hak asasi manusia selalu berkaitan dengan nilai dan budaya masyarakatnya. Dalam kaitan ini, terdapat dua ideologi yang memberi warna terhadap hak asasi manusia, yaitu ideologi liberalis dan sosialis.
Kaum liberal lebih menekankan pada kebebasan, hak, dan kehormatan individu sehingga sering mengabaikan kepentingan masyarakat. Dalam pandangan ini, hak individu menjadi sangat sentral sehingga kebebasan bertindak dan berperilaku setiap individu menjadi hak yang paling asasi. Akibatnya, hak-hak masyarakat menjadi terabaikan.
Perkembangan HAM
HAM yang berkembang di dunia pada umumnya bersumber pada liberalisme, dan dalam implementasinya diberi pengertian dengan nilai-nilai Barat. HAM telah dimonopoli oleh tafsiran barat dan sama sekali mengabaikan nilai-nilai budaya lainnya, termasuk nilai agama. Negara-negara Barat, dengan nilai-nilai kebebasannya, mendesakkan pengertian HAM tersebut kepada dunia lainnya, terutama kepada negara-negara berkembang. Oleh karena itu, konflik tentang HAM terus berlangsung dari waktu ke waktu dan menjadi persoalan dunia. Negara-negara Barat mengklaim dirinya sebagai pelopor HAM sekaligus menjadi komandan bagi pelaksanaan HAM untuk negara-negara lainnya.
Adapun kaum sosialis sangat menekankan pada hak-hak kolektif dibandingkan dengan hak-hak individu. Bahkan, kaum ini tidak mengakui kepentingan-kepentingan individual, termasuk kepemilikan pribadi. Bagi kaum sosialis, hak asasi adalah milik bersama sehingga setiap orang harus merasakan bersama-sama secara merata. Oleh karena itu, sama rasa sama rata menjadi slogan utama mereka.
Pada kenyataannya, kesamarataan tersebut bukan dalam arti yang sebenarnya sebab pada negara-negara penganut ideologi ini, kesamarataan hanyalah bagi rakyat pada umumnya. Adapun bagi para pemimpin ideologi dan elit birokrasinya, kesamarataan tersebut tidaklah terjadi. Mereka seolah-olah memiliki keistimewaan khusus untuk merasakan dan menikmati kekayaan dan kemewahan yang tidak boleh dinikmati rakyat. Di sini tampak inkonsintensi para elit negara pada ideologinya sekaligus menunjukkan kerapuhan ideologi ini.
Dengan demikian, baik ideologi liberal maupun komunis tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Keduanya tetap menjadi masalah yang tak kunjung selesai. Pada akhirnya HAM dijadikan tameng atau kedok untuk memperkosa hak-hak masyarakat, terutama masyarakat negara miskin. (han)