
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen Program Doktor Ilmu Hukum Unpas & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat (Ketika Palu Tak Lagi Mengetuk Nurani)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Ada yang pelan-pelan mati di ruang sidang itu. Bukan sekadar kepercayaan publik, bukan pula sekadar kewibawaan institusi. Tapi sesuatu yang lebih halus: nurani. Dan ketika nurani itu tak lagi hidup, palu hakim yang diketuk hanyalah ritus kosong—gema dari sesuatu yang tak lagi punya makna.
Penangkapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, bukan sekadar kabar buruk. Ia adalah sinyal yang pekat dari sebuah krisis yang tak kunjung sembuh—krisis di tubuh peradilan. Dalam diam yang seharusnya penuh hikmah, kini menggema bisik-bisik suap, jaringan, dan jual beli vonis. Dan semua ini terjadi di tempat yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan.
Nilai uang yang disebut—Rp60 miliar—bukan hanya angka. Ia adalah harga dari kebebasan korporasi, harga dari sebuah keputusan, harga dari kematian akal sehat dalam sistem hukum. Palu hakim, yang mestinya menjadi simbol otoritas moral tertinggi, dipreteli nilainya oleh tangan-tangan gelap yang tak hanya menjual hukum, tapi juga menjual masa depan demokrasi.
“Ada yang lebih mengerikan dari negara tanpa hukum: negara dengan hukum yang bisa dibeli.”
Ungkapan ini bukan baru, tapi kini terasa lebih nyata dari sebelumnya. Jika ketua pengadilan bisa ditangkap, jika tiga hakim bisa dijerat karena memvonis bebas tiga korporasi besar dengan aroma transaksi, maka barangkali yang runtuh bukan hanya gedung, melainkan gagasan tentang keadilan itu sendiri.
Di mana letak nurani dalam sistem hukum yang kini berdiri?
Pertanyaan ini bukan untuk dijawab, tapi direnungi. Karena sistem bisa diperbaiki, struktur bisa dirombak, tetapi jika moral dan etika pribadi pengadil tak lagi menjadi fondasi, maka apa pun yang kita bangun hanya akan berdiri di atas pasir yang basah.
Kita terlalu lama memandang pengadilan sebagai arena legalistik, lupa bahwa di sana ada manusia. Hakim bukan mesin hukum. Mereka punya keraguan, punya ambisi, punya peluang tergelincir. Dan ketika sistem membiarkan celah-celah itu menjadi ruang kompromi, ketika pengawasan sekadar administratif, maka pengadilan berubah dari tempat menimbang kebenaran menjadi tempat menukar kepentingan.
“Bagaimana kita percaya pada palu yang diketuk jika ia bukan lagi panggilan hati, melainkan hasil negosiasi di luar ruang sidang?”
Kasus Muhammad Arif Nuryanta hanyalah satu dari mozaik keretakan besar. Beberapa bulan sebelumnya, kita mendengar perkara Ronald Tannur. Putusan bebas terhadap terdakwa dalam kasus kekerasan yang menewaskan seorang perempuan muda itu mengundang amarah publik. Dan ternyata, di balik kejanggalan itu, ada aliran uang yang nyaris tak terendus, kecuali oleh penyadapan komunikasi.
Begitu banyak ironi dalam pengadilan. Satu tangan mengetuk palu, tangan lainnya mungkin sedang menghitung rupiah. Satu wajah bicara soal keadilan, wajah lainnya tersembunyi dalam ruang lobi yang sunyi, membicarakan kesepakatan. Kita berada dalam keadaan di mana putusan tidak lagi menjadi penanda etika, tetapi produk dari transaksi.
Seorang dosen hukum pidana, Azmi Syahputra, menegaskan bahwa sistem perlu bersih-bersih (Hukumonline, 14/04/2025). Bahwa hakim-hakim dengan integritas tinggi sering kali kalah suara di dalam majelis. Sistem deliberatif yang seharusnya menjadi forum pertimbangan, berubah menjadi sarang mayoritas manipulatif. Hakim yang jujur—jika masih ada—menjadi minoritas sunyi dalam gelombang arus kekuasaan informal yang lebih kuat dari bunyi palu di meja sidang.
Tapi apakah kita harus pasrah?
Tidak. Justru pada titik ini, harapan bisa tumbuh.
Saya percaya, kehancuran total selalu menyimpan kemungkinan pembaruan. Jika peradilan kini telah sampai pada titik paling rendahnya, maka di situlah kita bisa mulai menggali ulang fondasi moralnya. Bukan dengan seminar, bukan dengan spanduk antikorupsi di gedung-gedung Mahkamah Agung. Tapi dengan memulihkan nurani. Dengan mengingatkan bahwa menjadi hakim bukan hanya profesi, tetapi laku hidup.
Sanksi berat, seperti yang disuarakan publik, memang penting. Tetapi lebih penting dari itu: pembaruan sistem rekrutmen, reformasi budaya pengadilan, dan keberanian mengevaluasi struktur majelis hakim. Jangan biarkan yang jujur selalu menjadi pecundang dalam sistem yang membiarkan kompromi.
“Pengadilan yang adil bukan soal hukum yang sempurna, tapi soal manusia yang tak menyerah pada godaan.”
Dan kita tahu, godaan itu kini bukan lagi bayangan. Ia nyata, mengitari meja, menjelma menjadi amplop, menjadi promosi jabatan, menjadi tekanan dari kekuasaan.
Kita butuh lebih dari sekadar kejaksaan yang rajin menyadap. Kita butuh ruh keadilan yang hidup kembali. Sebab hukum tidak bisa sekadar ditegakkan, ia harus diteladankan.
Sebab, ketika palu tak lagi mengetuk nurani,
yang tertinggal bukan vonis, tapi kekosongan. (han)












