BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM– Neng Ria Rahayu duduk tenang di sudut ruang, matanya sesekali menerawang seolah mencari makna yang belum sempat ia temukan.
Lahir pada 14 Agustus 2002, Ria adalah mahasiswi semester VI Ilmu Komunikasi di Universitas Sali Al-Aitaam (UNISAL). Saat ditanya tentang hidup, ia tidak langsung menjawab. Ia tertawa kecil, lalu menatap ke depan dan berkata pelan, “Hidup itu… ya tentang belajar, sih.”
Di antara obrolan ringan tentang hobi dan rencana masa depan, Ria menyebut satu hal yang paling berkesan dalam perjalanan hidupnya, kehilangan.
“Aku dulu hidupnya lurus-lurus aja. Tapi waktu Bapak meninggal tahun 2019, semuanya kayak berhenti. Kayak langsung gak ada tujuan hidup lagi,” tuturnya.
Ria mengingat betul masa itu, saat dunia yang ia anggap tenang tiba-tiba terhempas sunyi. Bapak adalah sosok penting dalam hidupnya. Sosok yang membuatnya ingin menjadi lebih baik, yang diam-diam menjadi alasan ia menyimpan cita-cita untuk membuat beliau bangga.
“Aku ngerasa belum jadi anak yang bener, belum jadi anak yang baik buat beliau,” katanya lirih.
Kepergian sang ayah menyisakan ruang kosong dalam hidup Ria. Ia mengaku sempat berada dalam fase denial yang panjang. Namun hidup, seperti kata Ria, tak pernah benar-benar memberi pilihan selain berjalan. Ia belajar memisahkan rasa duka itu, bukan menghapus, tapi menjadikannya bagian dari rutinitas hari-hari yang terus bergulir.
Dengan suaranya yang pelan namun jujur, Ria mengungkap bahwa menyanyi menjadi salah satu caranya meredakan sesak di dada.
“Nyanyi itu buat ngerilis aja, walaupun suara aku juga nggak bagus-bagus amat,” katanya sambil tertawa kecil.
Kini, meski ia belum yakin ke mana hidup akan membawanya, Ria mencoba menjalani semuanya dengan ikhlas dan apa adanya. Ia membiarkan hidup “ngalir aja”, seraya terus belajar memahami luka, menerima kehilangan, dan merangkai ulang arah.
Kepada mereka yang masih punya orangtua, Ria berpesan penuh empati, “Sebisa mungkin, coba deket sama orangtua. Coba cerita, coba saling mengerti. Kadang kita punya keinginan sendiri, tapi orangtua juga punya harapan. Saling memahami aja,” ungkapnya.
Dalam diri Ria, ada suara yang mungkin tak keras, tapi jujur dan tulus. Suara seorang anak yang sedang tumbuh, belajar memaafkan diri, dan perlahan menemukan cahaya dari duka. Dalam kesenyapan kehilangan, ia menyimpan harapan: bahwa hidup tetap layak dijalani, meski arah dan tujuannya masih belum pasti. (tiwi)












