
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen FH Unpas & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat (Pensiun Ditunda, Regenerasi Tergadaikan)
WWW.PASJABAR.COM – Negara, dalam kebijakannya yang strategis, semestinya berpijak pada logika meritokrasi, bukan logika kenyamanan elite birokrasi.
Gegap gempita reformasi birokrasi seringkali terhenti di depan pintu kamar pejabat yang enggan melepas kursinya. Di tengah sorotan publik terhadap kualitas pelayanan, transparansi, dan regenerasi aparatur sipil negara, justru muncul sebuah usulan yang mengejutkan: memperpanjang usia pensiun ASN hingga 70 tahun.
Usulan ini bukan kabar burung. Dikirim secara resmi oleh Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) kepada Presiden Prabowo Subianto, Ketua DPR RI, serta Menteri PAN-RB, ide ini dilandasi semangat mempertahankan “keahlian dan pengalaman” ASN, terutama mereka yang menjabat pada jabatan fungsional utama. Tetapi pertanyaan mendasarnya tetap: Apakah birokrasi harus ditopang oleh yang tua, atau dibangun oleh yang muda?
Legitimasi
Setiap kebijakan publik perlu memiliki akar legitimasi. Usulan memperpanjang usia pensiun tentu tidak bisa lepas dari perdebatan tentang otoritas dan kebutuhan. Otoritas Korpri sah, tetapi kebutuhan publik harus jadi tolok ukur. Dalam konteks ini, kita berhadapan dengan pertanyaan etis dan struktural: apakah perpanjangan usia pensiun ini benar-benar untuk memperbaiki kualitas layanan publik, atau hanya untuk melanggengkan jabatan dalam bingkai eksklusivitas elite birokrasi?
Dalam sistem demokrasi, ASN bukan sekadar mesin administratif. Mereka adalah pelayan publik yang dituntut tidak hanya cakap, tetapi juga adaptif, berorientasi masa depan, dan punya semangat perubahan. Ketika sistem hanya berkutat pada perpanjangan usia, tanpa menyentuh evaluasi kinerja yang ketat, sistem itu hanya menjadi alat konservatisme. Di sini, legitimasi moral dari usulan tersebut jadi tanda tanya.
Harapan
Benar bahwa usia harapan hidup meningkat. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan usia harapan hidup masyarakat Indonesia kini mencapai rata-rata 73 tahun. Namun, peningkatan ini tak serta-merta menjadi argumen kuat untuk memperpanjang usia kerja formal hingga 70 tahun.
Harapan hidup tidak identik dengan produktivitas kerja. Semakin tua seseorang, risiko menurunnya kinerja, kapasitas adaptasi terhadap teknologi baru, serta semangat inovasi juga meningkat. Apalagi birokrasi Indonesia belum sepenuhnya mengadopsi sistem monitoring dan evaluasi kinerja berbasis output secara objektif. Maka, memperpanjang usia jabatan tanpa instrumen pengukuran kinerja yang terukur justru membuka ruang pemborosan anggaran dan kemunduran pelayanan.
Keadilan
Ketimpangan akan menjadi konsekuensi berikutnya. ASN yang berada di jabatan fungsional utama atau struktural tinggi akan mendapat perpanjangan pensiun hingga 65–70 tahun. Sementara ASN pada level pelaksana atau eselon rendah tetap dipensiunkan pada usia 58–60 tahun. Bukankah ini menciptakan hierarki keistimewaan yang merusak semangat persamaan di dalam sistem kepegawaian nasional?
Reformasi birokrasi semestinya bergerak ke arah horizontalitas: sistem yang menilai kinerja, bukan status jabatan. Ketika yang tinggi terus diperpanjang masa baktinya, sedangkan yang muda disuruh menunggu, regenerasi bukan lagi harapan, melainkan pengorbanan.
Produktivitas
Apakah jabatan yang dipertahankan hingga usia 70 tahun menjamin produktivitas yang berkelanjutan? Tidak selalu. Dalam banyak kasus, ASN yang terlalu lama berada dalam jabatan justru menjadi beban karena sudah tidak lagi mampu mengikuti perkembangan zaman. Perkembangan teknologi informasi, sistem pelayanan berbasis digital, hingga kultur pelayanan publik yang menuntut kecepatan dan responsivitas seringkali tak bisa diimbangi oleh mereka yang enggan belajar ulang.
Tak dapat dimungkiri, pengalaman adalah kekayaan. Namun pengalaman yang tidak disegarkan oleh pembaruan hanya akan menjadi beban memori masa lalu. Di sinilah pentingnya regenerasi, bukan hanya sebagai distribusi usia, tapi sebagai distribusi energi dan orientasi masa depan.
Anggaran
Dampak fiskal dari kebijakan ini pun tak bisa diabaikan. Perpanjangan usia pensiun berarti perpanjangan belanja gaji, tunjangan jabatan, serta keterlambatan pembayaran pensiun bagi generasi berikutnya. Dalam sistem keuangan negara yang tengah ditekan oleh kebutuhan belanja sosial, infrastruktur, dan subsidi energi, kebijakan ini berpotensi mengganggu alokasi anggaran secara keseluruhan.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa belanja pegawai rutin terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bila usia pensiun ditambah, maka anggaran untuk rekruitmen ASN baru pun harus ditunda, padahal generasi muda pencari kerja terus bertambah. Negara berpotensi kehilangan bonus demografi karena birokrasi menolak pensiun.
Komparasi
Negara-negara dengan sistem meritokrasi kuat justru cenderung mempertahankan batas usia pensiun yang proporsional. Di Jepang, batas usia pensiun PNS adalah 60 tahun dan akan dinaikkan menjadi 65 tahun secara bertahap. Di Jerman, usia pensiun PNS sekitar 65 tahun. Di Australia, tidak ada usia pensiun wajib, tetapi sistem pensiunnya dirancang untuk mendorong pensiun dini sambil membuka ruang konsultatif bagi mereka yang senior.
Model paling seimbang adalah dengan tidak memperpanjang jabatan struktural, tetapi membuka ruang bagi peran-peran nonstruktural setelah pensiun: penasihat, mentor, pengajar, atau komisaris BUMN. Dengan begitu, pengalaman tetap bisa dibagikan tanpa menutup jalur struktural bagi yang muda.
Transparansi
Usulan seperti ini, apalagi bila tidak dikaji secara publik, menandakan kerapuhan sistem tata kelola kebijakan kepegawaian kita. Mengapa usulan penting seperti ini tidak dibuka dalam forum nasional? Mengapa bukan melalui kajian akademik terbuka, uji publik, atau debat kebijakan antara pemangku kepentingan?
Jika pemerintah setuju, maka proses legislasi dan revisi regulasi harus melalui uji keterbukaan. Jika tidak, maka usulan ini harus dihentikan, karena tidak dilandasi oleh kajian manfaat-risiko yang matang. Publik tidak bisa hanya menjadi penerima dampak, tetapi juga harus dilibatkan dalam pembuatan kebijakan yang menyangkut kualitas pelayanan publik.
Reformasi
Reformasi birokrasi tidak bisa hanya dibangun dari atas ke bawah. Ia harus lahir dari kesadaran bahwa jabatan adalah alat, bukan tujuan. Perpanjangan usia pensiun bisa jadi masuk akal bila disertai dengan reformasi menyeluruh: sistem evaluasi kinerja yang berbasis hasil, sistem mutasi terbuka lintas instansi, pembinaan pasca pensiun, dan pendidikan aparatur sepanjang hayat.
Tanpa itu semua, memperpanjang pensiun hanya akan menjadi cara halus melanggengkan kekuasaan dan menahan pintu regenerasi. Di tengah kecepatan perubahan, birokrasi yang lamban adalah birokrasi yang usang.
Usia hanyalah angka. Tapi dalam konteks birokrasi, usia juga adalah batas. Batas antara kemauan dan kemampuan. Antara pengalaman dan kebutuhan perubahan. Antara masa lalu dan masa depan.
Menunda pensiun adalah menunda regenerasi. Dan menunda regenerasi berarti menggadaikan masa depan birokrasi. Negara tak boleh mendidik aparatur untuk menetap, melainkan untuk mengabdi, lalu memberi jalan kepada yang berikutnya.
Jika kita sungguh percaya bahwa pelayanan publik adalah tugas mulia, maka seharusnya jabatan bukan tempat bersandar, melainkan ruang untuk bersiap mundur setelah tugas selesai. Dengan hormat. Dengan terhormat. (han)












