
Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si., Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan (Makhluk dalam buku Afeksi Islam)
WWW.PASJABAR.COM – Makhluk adalah segala sesuatu yang diciptakan, atau segala sesuatu selain Allah (kullu maa siwallah fahuwa makhluqun). Makhluq ini berada dari ketiadaan. Lalu, apa asal-usul alam semesta? Kemanakah ia bergerak? Bagaimana hukum-hukum yang berlaku baginya sehingga bisa mempertahankan keberaturan dan keseimbangannya? Itulah pertanyaan-pertanyaan menarik yang selalu menjadi topik pembahasan para ilmuwan.
Para ilmuwan masih terus membahas tentang subjek tersebut tanpa henti sehingga kemudian menghasilkan teori. Salah satu teori tentang alam semesta yang masih berlaku hingga awal abad dua puluh menyatakan bahwa alam semesta mempunyai ukuran yang tak terbatas. Dia ada tanpa awal, dan akan terus ada untuk selama-lamanya. Menurut pandangan yang biasa disebut model alam semesta statis, alam semesta tidak mempunyai awal atau akhir. Mengacu pada filsafat material, pandangan atau isme ini menolak adanya pencipta. Mereka berpendapat bahwa alam semesta merupakan sekumpulan zat yang konstan, stabil, dan tidak akan pernah berubah.
Selain model alam semesta statis (sebut saja filsafat statisme), ada pula pandangan kelompok materialisme. Menurutnya, sistem pemikiran yang menganggap bahwa zat itu merupakan makhluk yang mutlak. Mereka menolak segala keberadaan kecuali keberadaan zat itu sendiri. Seiring dengan berakhir pada filsafat Yunani Kuno dan semakin diterimanya materialisme ini pada abad sembilan belas, sistem pemikiran materialisme ini menjadi semakin terkenal dalam bentuk materialisme-dialektis yang digagas Karl Marx.
Pemikiran Tentang Alam Semesta
Model pemikiran tentang alam semesta abad sembilan belas menjadi basis dan landasan bagi filsafat materialis. George Politzer, dalam buku Principes Fondamentaux de Philosophie menyatakan (pendapatnya didasarkan pada model alam semesta statis) bahwa alam semesta bukanlah objek yang diciptakan. Kalau memang demikian, alam semesta pasti diciptakan sekaligus oleh Tuhan dan dijadikan dari ketiadaan. Padahal, untuk menghasilkan ciptaan, di tempat pertama, penciptanya harus menghasilkan keberadaan tersebut ketika alam semesta belum ada dan bahwa segala sesuatu muncul dari ketiadaan. Inilah yang idak dapat dijelaskan oleh ilmu.
Ketika Politzer menyatakan bahwa alam semesta tidak erbuat dari sesuatu yang tidak ada, ia berpijak pada teori model alam semesta statis abab sembilan. Ia mengira bahwa apa yang dikatakannya merupakan pandangan ilmiah. Fakta yang kemudian muncul, perkembanmgan ilmu dan teknologi memutarbalikan konsep-konsep lama seperti model alam semesta statis yang menjadi dasar bagi ilmuwan yang menganut paham materialisme. Kini, pada awal abad dua puluh satu, melalui serangkaian eksperimen, observasi, dan perhitungan, fisika modern telah berhasil membuktikan bahwa alam semesta ini memiliki awal. Ia diciptakan dari ketiadaan melalui ledakan yang sangat dahsyat (Big Bang).
Diciptakan
Jika alam semesta ini memiliki awal berarti makrokosmos itu bukan dihasilkan dari sesuatu yang tidak ada. Ia pasti diciptakan. Jika ciptaan itu ada (yang sebelumnya tidak ada), ia pasti membutuhkan penciptanya. Ada dari tiada itulah yang tidak dapat dipahami oleh benak (top-mind) manusia. Jadi, dapat dikatakan bahwa manusia tidak dapat memahaminya karena ia tidak mengalaminya. Karena itu, ada dari tiada itu sama sekali bukan pengumpulan objek-objek untuk membentuk objek yang baru sekaligus (seperti karya seni atau penemuan teknologi). Dalam pandangan Islam, alam semesta (univers) merupakan saslah satu ayat Allah. Dialah yang telah menciptakan segalanya dalam satu peristiwa dengan sangat sempurna. Benda-benda yang ada dan diciptakan itu sebelumnya tidak memiliki contoh. Bahkan, Dia tidak membutuhkan ruang dan waktu untuk menciptakan benda-benda itu.
Munculnya alam dari tiada menjadi ada merupakan bukti terbesar tentang penciptaan alam semesta. Jadi, ketika kita sebagai makhluk mempelajari fakta-fakta ini dengan saksama, perubahan tentang banyak hal akan terjadi. Ia bisa membantu manusia dalam usaha memahami arti kehidupan. Juga, dalam usaha memperbaiki sikap dan tujuan hidupnya. Ketika banyak ilmuwan yang berupaya mengabaikan fakta penciptaan yang tidak dapat mereka pahami sepenuhnya itu “kebodohan” sesungguhnya sedang bergulir. Padahal bukti-buktinya sudah sedemikian jelas bagi mereka. Kenyataan bahwa semua bukti ilmiah mengarah kepada keberadaan pencipta telah “memaksa” mereka untuk terus mencari alternatif-alternatif yang semakin membingungkan alam pikiran orang awam. Sungguhpun demikian, bukti-bukti keberadaan ilmu dan pengetahuan jelas-jelas telah mengakhiri perjalanan teori-teori ini. (han)