
Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si., Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan (Islam Universal dan Integral dalam buku Mengenal Kesempurnaan Manusia)
WWW.PASJABAR.COM – Di antara ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan ajaran Islam yang bersifat universal dan integral adalah:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya (kaffah), dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu. (Qs al-Baqarah [2]: 208)
Ayat di atas pada dasarnya menunjukkan secara praktis keharusan adanya integralitas dari seluruh ajaran Islam. Namun dalam tataran konsepsinya, ayat tersebut menandakan secara implisit bahwa ajaran ini bersifat universal. Oleh karena itu, istilah kaffah dipahami oleh para ulama dan cendekiawan Muslim sebagai pemahaman terhadap seluruh aspek ajaran Islam, mulai dari aspek yang menjadi obyek kajiannya dan aspek yang menjadi sumber nilainya. Dari pemahaman ini, lahirlah istilah “Islam Universal” atau “Islam Integral”. Kedua istilah ini, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, secara sederhana adalah “Islam menyeluruh” dan “Islam yang menyatu”.
Sedangkan pengertiannya secara terminologis adalah sebagai berikut:
Pertama, Islam harus dipahami dari obyek kajiannya yang mencakup akidah, syariah dan akhlak. Dari ketiga obyek kajian ini akhirnya lahir tiga bentuk hubungan yang dikenal dengan hubungan secara vertikal, yakni hubungan antara manusia dengan sang Khaliq (Allah) dan disebut dengan habl minallah; kemudian bentuk hubungan secara horizontal, yakni hubungan antarsesama manusia yang disebut dengan habl min an-nas; dan terakhir adalah bentuk hubungan antara manusia dengan alam sekitar yang terdiri dari alam binatang (hewani), alam tumbuh-tumbuhan (nabati), dan alam abiotik (jamadi). Bentuk hubungan yang terakhir ini, salah satu contohnya, adalah bagaimana cara memanfaatkan air, tanah, batu dan sebagainya berdasarkan nilai-nilai ajarannya.
Kedua, Islam harus dipahami dari sumber nilainya, yaitu Al-Quran, hadis (Sunnah Rasul), dan sumber tambahannya yakni ijtihad. Ketiga sumber nilai ini pada tataran praktisnya harus memiliki keterkaitan secara menyatu dan sinergis, sehingga memunculkan ajaran Islam yang bersifat universal. Pemahaman dari ketiga sumber nilai Islam ini, baik yang dilakukan oleh para ulama salaf (terdahulu) maupun ulama khalaf (kontemporer), pada akhirnya melahirkan tiga aspek atau tiga obyek kajian Islam seperti tersebut pada poin pertama—yakni, akidah, syariah dan akhlak—yang penerapannya dalam kehidupan sehari-hari tidak boleh terpisah, melainkan haru menyatu-padu secara bulat dan total.
Pedoman
Walhasil, apa yang disebut dengan Islam universal adalah pemahaman terhadap seluruh obyek kajian yang terdapat dalan ajaran Islam (akidah, syariah dan akhlak), lalu penerapannya, dalam kehidupan sehari-hari harus secara integral berpedoman pada sumber nilainya, yakni Al-Quran, Sunnah dan ijtihad secara . utuh (kaffah). Integralitas dan sinergisitas dari seluruh aspek yang terdapat di dalam ajaran Islam melahirkan satu pernyataan yang dinyatakan oleh para tokoh pembaharu Islam sebagai al-islam shalih li kulli zaman wa makan, artinya Islam adalah agama yang ajarannya sesuai dengan segala zaman dan tempat (sekalipun dalam ajaran Islam terdapat juga ajaran-ajaran yang sifatnya dogmatis dan statis, seperti ajaran-ajaran yang berkaitan dengan keyakinan).
Ungkapan di atas menggambarkan Islam universal, yakni Islam yang ajarannya secara integral mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari aspek kehidupan yang terkecil sampai dengan aspek kehidupan yang terbesar di berbagai ras dan kebangsaan yang senantiasa diiringi oleh kemajemukan ras (lihat Qs al-Hujurat [49]: 13) dan bahasa (lihat Qs Rum [30]: 22).
Realitas tersebut terjadi karena, dalam pandangan Islam, setiap kenyataan yang bersifat alami dan manusiawi tidak terpengaruh oleh zaman, tempat, asal-usul ras dan bahasa, melainkan tetap ada tanpa perubahan dan peralihan. Karena Islam berurusan dengan alam kemanusiaan itu, ia senantiasa ada bersama manusia tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu serta kualitas-kualitas lahiriah hidup manusia, Konsekuensinya adalah seluruh norma dan aturan yang terdapat di dalamnya tentu harus berlaku hingga akhir zaman dan bersifat universal, yakni mencakup seluruh aspek kehidupan.
Tiada Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam. (Qs al-Anbiya [21]: 107)
Dalam ayat lain:
Tiada Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Qs Saba’ [34]: 28)
Universalitas Islam
Selain itu, universalitas Islam dapat dilihat juga antara lain dalam hal-hal yang bersifat metafisik atau metalogis. Islam memandang persoalan metafisik merupakan persoalan manusia pada umumnya. Setiap manusia, kapan dan di mana pun, selalu berhubungan dengan persoalan-persoalan metafisik, karena bagaimanapun manusia tidak bisa memecahkan masalahnya secara rasional belaka. Akal manusia terbatas pada apa yang bisa dipikirkan, dilihat dan dirasakan. Banyak hal dalam kehidupan manusia yang tidak terpikirkan dengan akal semata. Islam memberikan solusi metafisik bagi setiap persoalan yang tidak mampu dipecahkan akal manusia.
Universalitas ajaran-ajaran Islam tampak pula dari segi ritualnya. Ajaran Islam tidak membedakan aturan ritual atas dasar budaya tertentu. Semua Muslim, di mana pun berada, memiliki tata ritual yang sama, seperti pelaksanaan shalat. Semua Muslim terikat pada aturan yang sama di mana pun atau kapan pun ia berada. Secara sosiologis, umat Islam, satu dengan yang lain, terikat kuat oleh satu ikatan, yaitu akidah yang mengalahkan ikatan primordial lainnya. Suku atau ras tidak lagi menjadi pembeda utama dalam hubungan kemanusiaan, bahkan persamaan akidah dapat melebur perbedaan. perbedaan lainnya, termasuk perbedaan suku atau kebangsaan tertentu.
Kesamaan keyakinan ini tentu berdampak pada segi politik Konsep kesamaan dan persaudaraan merupakan dorongan untuk mengembangkan kesamaan visi politik. Hal ini diperkuat lagi dengan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, yang akan menjadi efektif melalui pendekatan politik yang bersifat universal. Universalitas Islam tersebut terintegrasi dan terkodifikasi dalam akidah, syariah dan akhlak. Antara satu dengan yang lainnya terdapat nisbah atau hubungan yang saling berkaitan. Semuanya berfokus dan menuju kepada keesaan Allah atau bertauhid. Ajaran tauhid inilah yang menjadi inti, awal dan akhir dari seluruh ajaran Islam (Endang Saefuddin Anshari, 1986: 27-33).
Islam Bersifat Mutlak
Islam itu sendiri secara totalitas merupakan suatu keyakinan bahwa nilai-nilai ajarannya adalah benar dan bersifat mutlak karena bersumber dari Tuhan Yang Mahamutlak. Dengan demikian, segala hal yang diperintahkan dan diizinkan oleh Tuhan adalah suatu kebenaran, sedangkan segala sesuatu yang dilarang-Nya adalah kebatilan. Di samping itu, Islam merupakan hukum atau undangundang (syariah) yang mengatur tatacara manusia berhubungan dengan Allah (vertikal) dan hubungan antarsesama manusia (horizontal). Di dalamnya, tercakup dua bidang pembahasan, yaitu: pertama, bidang ibadah mahdhah yang meliputi tatacara shalat, puasa, zakat dan haji; dan kedua, bidang ibadah ghair mahdhah yang meliputi: mu’amalah, munakahah, siyasah, jinayah dan sebagainya.
Sebagai standar dan ukuran dalam pelaksanaannya, semua itu merujuk pada hukum yang lima yang disebut dengan al-ahkam al-khamsah, yaitu: wajib, haram, mubah, mandub, dan makruh. Penerapan kelima hukum tersebut dalam kehidupan sehari-hari memiliki variasi dan pelaksanaannya bersifat fleksibel melalui ijtihad yang disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan zaman. Aspek syariah ini disosialisasikan oleh aspek akhlak. Aspek ini merupakan cara, tata kelakuan dan kebiasaan dalam bersosialisasi dan berinteraksi, baik yang berhubungan dengan ekonomi, politik, berkeluarga, bertetangga maupun hal-hal lainnya.
Ketiga aspek tersebut dalam operasionalnya bersumber pada Al-Quran dan Sunnah Rasul. Dua sumber pokok inilah yang mengatur dengan cermat kehidupan manusia, baik dalam hubungan manusia dengan Allah maupun hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Kemudian, dilakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap persoalan-persoalan yang tidak terdapat aturannya secara eksplisit di dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul. Ijtihad ini merupakan hasil ketetapan para ulama yang dikodifikasi dalam sebuah ilmu yang disebut ‘ilm al-fiqh (ilmu fikih).
Ajaran untuk Manusia
Seluruh ajaran tersebut, baik akidah, syariah, maupun akhlak, bertujuan membebaskan manusia dari berbagai macam belenggu penyakit mental-spiritual dan stagnasi berpikir, serta mengatur secara tertib tingkah laku perbuatan manusia agar tidak terjerumus ke lembah kehinaan dan keterbelakangan, sehingga tercapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Dari sinkronitas dan integritas dari ketiga aspek tersebut, akan terlihat universalitas Islam dengan visi dan misinya sebagai rahmat bagi seluruh alam termasuk umat manusia.
Atas dasar itulah, muncul diktum Islam sebagai agama yang sempurna. Kesempurnaannya terlihat di dalam ajaran-ajarannya tersebut yang bersifat universal dan fleksibel (luas dan luwes) serta mengharuskan terciptanya keseimbangan hidup antara duniawi dan ukhrawi, jasmani dan ruhani. Sebab, kehidupan duniawi yang baik harus dijadikan media untuk mencapai kehidupan ruhani yang baik. Sebaliknya, kehidupan ruhani yang baik harus dijadikan media untuk memenuhi kehidupan jasmani yang baik, legal dan halal serta mendapat ridha Allah. Oleh karena itu, Islam merupakan kekuatan hidup yang dinamis, dan merupakan suatu code yang sesuai dan berdampingan dengan tabiat alam, dan juga merupakan code yang meliputi segala aspek kehidupan insani.
Hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agamamu. (Qs al-Ma’idah [5]: 3)
Ajaran yang Sempurna
Islam merupakan ajaran sempurna yang diberikan kepada seluruh umat manusia untuk dijadikan dasar dan pedoman hidup di dunia. Ajaran ini diturunkan untuk dilaksanakan di tengah. tengah kehidupan masyarakat agar mereka memiliki kualitas hidup sebagai manusia: makhluk yang memiliki derajat yang mulia. Islam merupakan agama yang terbaik dan mendapatkan tempat di sisi Allah (lihat Qs Ali Imran (31: 19).
Islam berisi ajaran yang menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai hamba Allah, individu, anggota masyarakat, maupun makhluk secara umum. Seperti yang telah dijelaskan dalam universalitas Islam, secara garis besar, ajarannya mengandung tiga persoalan pokok, yaitu: pertama, keyakinan yang disebut akidah, yaitu aspek credial atau keimanan terhadap Allah, dan semua yang difirmankan-Nya untuk diyakini; kedua, norma atau hukum yang disebut syariah, yaitu aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia, dan alam semesta; ketiga, perilaku yang disebut akhlak, yaitu sikap-sikap atau perilaku yang tampak dari pelaksanaan akidah dan syariah. Ketiga aspek tersebut tidak boleh berdiri sendiri, tetapi harus menyatu sehingga membentuk kepribadian yang utuh pada setiap diri umatnya.
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata. (Qs al-Baqarah [2]: 208)
Kebahagiaan
Setiap umat Islam didorong untuk melaksanakan ajaran Islam gecara menyeluruh dalam segala segi kehidupannya, karena Islam tidak hanya berbicara tentang ibadah ritual tetapi juga semua aspek kehidupan umat manusia. Apabila keseluruhan hidup telah berada di atas sendi ajaran ini, maka akan lahir kebahagiaan hakiki yang menjadi tujuan seluruh umat manusia.
Kebahagiaan yang hakiki adalah kesejahteraan lahir dan batin. Kesejahteraan lahir adalah terpenuhinya kebutuhan hidup manusia, dan kesejahteraan batin adalah dirasakannya ketenangan, ketenteraman dan kedamaian. Dua hal ini tidak bisa dipisahkan, karena keduanya merupakan kesatuan yang saling terkait. Terpenuhinya kebutuhan material tidak serta-merta menyejahterakan batin, dan demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, Islam memberikan bimbingan dan pengarahan yang jelas untuk mencapai kesejahteraan hakiki itu dengan menata kehidupan secara utuh.
Carilah olehmu apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagian duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Qs al-Qashash [28]:77)
Mengajarkan Manusia
Islam mengajarkan agar manusia berusaha memenuhi kebutuhan lahiriahnya dengan bekerja keras dan tanpa melalaikar nilai-nilai dan aturan moral yang diajarkan oleh Allah berupa kebaikan. Ajaran ini membuktikan kebenaran Islam sebagai agama yang datang dari Allah yang menciptakan manusia. Oleh karena itu, ajarannya sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk fisik yang memerlukan pemenuhan kebutuhan biologisnya, seperti makan minum, dan pakaian.
Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Islam. Itulah fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrahnya itu. (Qs Rum [30]: 30)
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu merupakan sebagian tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. (Qs al-A’raf [7]: 26)
Di samping kesejahteraan lahir yang dicapai dengan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup material, umat Islam dituntut pula untuk memenuhi kebutuhan batiniahnya. Karena di samping sebagai makhluk fisik, manusia juga adalah makhluk psikis: Manusia sebagai makhluk psiko-fisik menuntut pula pemenuhan kebutuhan jiwanya berupa ketenangan dan ketenteraman. Ketenangan akan dirasakan manusia jika hatinya tertambat pada kebenaran. Kebenaran yang hakiki akan diterimanya dan kenikmatan batin akan dirasakannya apabila ia dekat dengan Allah. Apabila segala usaha bertolak dan ditujukan hanya untuk Allah maka akan melahirkan penyerahan total yang tak terhingga kepada-Nya. Selanjutnya, akan dirasakan ketenangan dan ketenteraman batin yang merupakan puncak kebahagiaan hidup. Al-Quran menyebutkan proses tersebut dengan istilah zikir atau mengingat Allah.
Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, sesungguhnya hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenteram. (Qs ar-Ra’d [13]: 28)
Mencerminkan Idealitas Umat Kebaikan
Umat Islam harus menjadi kumpulan manusia yang mencerminkan idealitas umat yang penuh dengan kebaikan. Al-Quran menyebutkan bahwa umat Islam adalah masyarakat marhamah, masyarakat yang mewujudkan suasana damai, saling peduli dan mengembangkan kasih sayang. Hubungan antaranggota masyarakat dalam komunitas Muslim adalah hubungan saling memberi dan memperhatikan, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW:
“Seorang mukmin dengan mukmin yang lain dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh: apabila salah satu anggota tubuh terluka maka seluruh tubuh merasakan demamnya. (Hr At-Tirmidzi)
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam sebagai agama memiliki keistimewaan dan karakteristik tersendiri yang berbeda dengan agama-agama lain di dunia.
Di antara keistimewaan-keistimewaan Islam, seperti yang diungkapkan oleh para ulama, adalah sebagai berikut:
- Islam merupakan agama universal, ajaran-ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan umat manusia, yang berlaku di setiap tempat dan masa.
- Islam merupakan agama yang memiliki keseimbangan orientasi hidup, yaitu kehidupan dunia dan akhirat.
- Penamaan “Islam” itu sendiri sebagai agama langsung diberikan oleh Allah melalui wahyu-Nya (Al-Quran). Sementara agama-agama lain yang berkembang di dunia, pemberian namanya diidentifikasikan kepada orang atau tokoh yang membawa ajaran tersebut, atau kepada daerah tempat agama tersebut berasal.
Dari keistimewaan-keistimewaan ajaran Islam tersebut, lahirlah karakteristik atau ciri-ciri pemeluknya (umat Islam) yang antara lain sebagai berikut:
- sebagai umat yang satu (ummah wahidah);
- sebagai umat multi rasa, suku, dan bangsa;
- yang menekankan kesamaan dan kesetaraan;
- yang mendorong tegaknya masyarakat dalam segala urusan;
- yang mencintai keadilan;
- menjunjung persatuan dan kebersamaan (berjamaah);
- adanya pemimpin yang berwibawa;
- saling menghargai (demokratis). (han)