BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM— “Dalam kobaran api Tragedi Mei 1998 di Jakarta yang bersimbah darah, martabat seorang perempuan direnggut oleh para lelaki bedebah…”
Kalimat pembuka ini menyayat—seperti membuka luka lama yang belum benar-benar sembuh. Di tengah gelombang reformasi dan runtuhnya rezim yang telah berkuasa puluhan tahun, sejarah menyimpan lembaran paling gelap: tentang tubuh-tubuh perempuan yang dihancurkan, tentang arwah yang gentayangan, tentang ingatan kolektif yang mencoba ditutup rapat oleh bangsa ini.
Novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah adalah fiksi yang memeluk kenyataan. Ditulis oleh Naning Pranoto, buku ini mengangkat kisah seorang perempuan Tionghoa—korban kekerasan seksual brutal saat Tragedi Mei 1998—yang harus mengandung seorang anak dari rahim luka. Anak itu tumbuh besar dalam stigma, dihantui tanya tentang siapa ayahnya, dan mencoba menelusuri jejak ibunya—perempuan yang dikuburkan hidup-hidup oleh sejarah yang enggan mengingat.
Dalam rangka membedah buku penuh luka ini, Temu Sejarah bekerja sama dengan Yayasan Pustaka Obor Indonesia akan menggelar Diskusi Buku #74 pada:
🗓️ Kamis, 17 Juli 2025
🕗 20.00–21.30 WIB
💻 Via Zoom (Gratis & Terbuka untuk Umum)
📱 Pendaftaran: 0895-3572-55688 (Format: Daftar – Diskusi Buku #74 – Nama – Domisili)
Diskusi akan menghadirkan langsung Naning Pranoto sebagai penulis dan pemantik cerita, serta dipandu oleh moderator Tiwi Kasavela dari Temu Sejarah. Bersama, kita akan menggali narasi sejarah dari sudut yang jarang disentuh: tubuh perempuan sebagai medan luka, dan sastra sebagai ruang perlawanan.
Tentang Ingatan yang Harus Dipulihkan
Tragedi Mei 1998 bukan hanya catatan politik. Ia adalah kisah manusia. Ribuan korban kehilangan nyawa, ribuan perempuan diperkosa, rumah-rumah dibakar, dan rasa aman dirampas. Namun sampai hari ini, tidak ada satupun pelaku yang diadili. Sejarah berusaha dikaburkan. Luka dipaksa untuk dilupakan.
Lewat novel ini, Naning Pranoto menolak lupa. Ia membangun fiksi sebagai jembatan menuju ingatan kolektif. Ia menulis dengan amarah yang terjaga, dengan empati yang mengalir dari setiap paragraf.
Diskusi ini bukan sekadar ajang literasi. Ini adalah bagian dari kerja budaya untuk mengingat, memulihkan, dan menolak bungkam. Karena sejarah yang tak disuarakan, hanya menunggu saat untuk kembali berulang.
“Karena luka yang tidak diingat akan membusuk dalam diam. Dan sejarah yang tidak disuarakan akan kembali berulang.”
Mari duduk bersama, menyimak, berdiskusi, dan menyalakan nyala kecil di tengah gelapnya memori bangsa. (tiwi)












