
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen FH Unpas dan Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat (Hikayat Bendera)
WWW.PASJABAR.COM — Di tiang-tiang bambu yang dulu ditegakkan dengan harap dan darah, bendera pernah menjadi lebih dari sehelai kain. Ia menjelma lambang. Bukan semata tanda milik atau simbol negara, melainkan penjelmaan dari mimpi, luka, dan martabat kolektif. Merah dan putih, dalam sejarah Indonesia, bukan sekadar warna. Ia adalah kontrak tak tertulis antara rakyat dan tanah air, bahwa apa pun yang terjadi, kehormatan tak boleh diremehkan. Bahwa mati untuk sepotong kain bisa menjadi hidup untuk sebuah keyakinan.
Namun di tengah parade zaman, simbol bisa kehilangan maknanya, atau justru dipaksakan menjadi makna baru. Kita hidup di zaman ketika anak muda lebih menghafal bendera bajak laut daripada mengingat tanggal lahir pahlawan nasional. Sebagian menyebutnya krisis identitas. Sebagian lagi menyebutnya evolusi budaya.
Fiksi
Bendera One Piece, atau lebih tepatnya Jolly Roger, adalah simbol dari dunia fiksi. Dunia yang diciptakan Eiichiro Oda dalam bentuk manga, namun lalu hidup dalam imajinasi jutaan manusia. Tengkorak tersenyum dengan topi jerami bukan sekadar lambang bajak laut. Ia adalah mimpi tentang kebebasan, persahabatan, dan melawan tirani. Dalam dunia yang penuh sensor, hukum, dan batas, Luffy dan krunya mengajarkan satu hal sederhana: bahwa untuk menjadi manusia merdeka, kadang kita harus melawan arus.
Namun bagaimana jika bendera fiksi itu berkibar di bawah bendera nyata? Bagaimana jika tengkorak tersenyum itu menari di tiang yang seharusnya menegakkan kehormatan negara? Apakah itu bentuk ekspresi? Atau justru bentuk subversi?
Konflik
Pemerintah bereaksi. Larangan dikeluarkan. Pasal-pasal diingatkan. UU Nomor 24 Tahun 2009 kembali dikutip. Simbol negara tidak boleh diduakan, apalagi disandingkan. Dalam logika kekuasaan, simbol adalah wilayah sakral. Menyentuhnya tanpa izin adalah dosa. Menandingi dengan simbol lain adalah penghinaan.
Tapi bagaimana jika anak-anak muda tak sedang menandingi, melainkan sedang mencari makna baru dari kebangsaan yang terasa hampa? Mungkin, bagi mereka, bendera Merah Putih telah kehilangan cerita. Sementara Jolly Roger punya narasi, petualangan, dan integritas meski fiktif. Ini bukan semata soal fanatisme terhadap anime, melainkan haus akan narasi yang jujur.
Bendera selalu lebih dari sekadar kain. Ia menyimpan makna yang dikonstruksi. Di zaman revolusi, ia simbol perlawanan. Di zaman damai, ia simbol kesatuan. Di zaman digital, ia bisa menjadi meme, avatar, atau template.
Yang dipersoalkan bukan bentuknya, tapi maknanya. Ketika orang mengibarkan bendera, yang mereka ingin tunjukkan bukan warna atau gambar, tetapi siapa mereka. Apa yang mereka perjuangkan. Apa yang mereka percayai. Maka, pertanyaannya bukan kenapa orang mengibarkan Jolly Roger, tetapi kenapa mereka merasa lebih terwakili oleh tengkorak tersenyum daripada simbol resmi negara?
Parodi
Dalam banyak kasus, rakyat menggunakan simbol fiksi untuk menyindir kenyataan. Luffy melawan Pemerintah Dunia yang korup dan menindas. Di dunia nyata, banyak orang merasa hidup dalam sistem yang tak jauh berbeda. Maka Jolly Roger bukan sekadar lambang fandom, tapi juga kritik sosial. Parodi terhadap negara yang kehilangan arah.
Tapi kekuasaan tak mengenal ironi. Ia hanya mengenal loyalitas atau pemberontakan. Ketika seorang remaja mengibarkan Jolly Roger di bawah Merah Putih, ia tak dilihat sebagai pemuda yang haus makna, tapi sebagai ancaman. Negara panik. Padahal yang dibutuhkan mungkin hanya ruang dialog.
Kita hidup di zaman hiper-simbol. Semuanya direpresentasikan oleh logo, emoji, stiker. Simbol menjadi bahasa baru. Tapi di balik semua itu, ada kebutuhan yang lebih dalam: representasi. Manusia ingin merasa dilihat. Diakui. Dipahami.
Jolly Roger berhasil menjadi simbol bukan karena dipaksakan, tapi karena diciptakan oleh imajinasi dan loyalitas emosional. Sementara Merah Putih, dalam banyak ruang publik, menjadi simbol yang wajib, tapi kadang tak lagi hidup. Tidak mati, tapi tidur.
Kesadaran
Barangkali yang kita butuhkan bukan melarang, tapi menghidupkan kembali. Menghidupkan cerita-cerita di balik bendera negara. Menyuntikkan narasi-narasi keberanian dan ketulusan. Mengajarkan bahwa Merah Putih bukan simbol negara karena peraturan, tapi karena pengorbanan. Bahwa ia bukan lambang kekuasaan, tapi perjuangan.
Negara yang percaya diri tidak takut pada bendera fiksi. Ia justru belajar darinya. Belajar bagaimana membangun simbol yang hidup, bukan hanya ada. Belajar bahwa generasi muda tak bisa dipaksa hormat, tapi bisa diajak merasa memiliki.
Pada akhirnya, hikayat bendera bukan tentang kain, tapi tentang kepercayaan. Tentang siapa yang dipercaya membawa harapan. Di dunia Luffy, harapan ada di kapal kecil dengan layar sobek dan tawa tulus. Di dunia kita, harapan seharusnya ada di ruang-ruang publik, di tiang-tiang bendera yang tegak, di cerita-cerita tentang bangsa yang jujur dan tak lupa dari mana ia berasal.
Barangkali saatnya kita tidak hanya memaksa orang hormat kepada bendera. Tapi membuat mereka kembali jatuh cinta padanya. (han)