
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen YPT Pasundan Dpk. FH Unpas (Penyitaan Buku, Penyitaan Akal Sehat)
WWW.PASJABAR.COM – Ada yang lebih sunyi daripada halaman yang kosong: rak buku yang tiba-tiba menjadi telanjang. Suatu pagi, di ruang sempit sebuah rumah di Kediri, aparat datang membawa tas besar. Mereka mengangkat buku, satu demi satu, seperti benda asing yang berbahaya. Bukan senjata tajam, bukan bom molotov, melainkan lembar-lembar kertas yang selama ini hanya bersuara pelan di dalam ruang sunyi pembacaan.
Kita mendengar kabar itu dengan dada sesak. Bahwa buku disita, seakan-akan teks bisa diperlakukan sebagai peluru. Negara, yang seharusnya tegak di atas hukum dan akal sehat, terguncang oleh benda paling sederhana dalam sejarah peradaban: sebuah buku.
Ingatan
Buku selalu punya sejarah sendiri di negeri ini. Ia pernah dibakar, dilarang, dicabut dari pasaran. Dulu, Jaksa Agung punya kewenangan melarang peredaran buku tanpa putusan pengadilan berdasarkan UU No. 4/PNPS/1963. Tapi Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 6/PUU-VIII/2010 (digabung dengan 13 & 20/PUU-VIII/2010) memutuskan bahwa kewenangan itu bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam amar putusannya, MK menegaskan: “Kewenangan Jaksa Agung untuk melarang dan/atau menarik peredaran suatu buku tanpa melalui mekanisme peradilan merupakan bentuk perampasan hak konstitusional warga negara, khususnya kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi sebagaimana dijamin Pasal 28 UUD 1945.”
Artinya, buku tidak bisa dicabut hidupnya tanpa due process of law.
Namun, kini dalam wajah berbeda, buku kembali jadi tersangka. Polisi menyebut buku sebagai barang bukti kerusuhan. Seolah-olah kalimat-kalimat di dalamnya mendorong orang melempar batu. Seolah-olah ide bisa diborgol.
Kita jadi ingat ucapan Pramoedya Ananta Toer: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang dari masyarakat.” Pram menulis, meski ia tahu tulisannya akan dilarang. Dan larangan itu justru membuktikan betapa rapuhnya kekuasaan di hadapan kata.
Ironi
Ada ironi di sini. Negara yang besar, dengan polisi bersenjata lengkap, merasa terancam oleh selembar kertas. Padahal, buku tidak pernah memaksa siapa pun. Ia hanya menawarkan bacaan, percakapan sunyi antara penulis dan pembaca. Bila ada orang yang marah setelah membaca, itu bukan salah buku. Itu soal bagaimana manusia membaca, menafsir, dan memutuskan.
Menyita buku adalah menyita kemungkinan orang untuk memilih. Itu seperti menutup jendela agar orang tak bisa melihat keluar. Ia tidak menghapus dunia, hanya membuat kita buta.
Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberi pedoman jelas.
- Pasal 38 ayat (1) KUHAP menyatakan: “Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan izin Ketua Pengadilan Negeri.”
- Pasal 39 ayat (1) KUHAP menegaskan: “Benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah barang yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.”
Pertanyaannya: apakah buku memenuhi syarat itu? Apakah buku yang berisi pemikiran, filsafat, atau ideologi bisa dianggap “alat” untuk melakukan tindak pidana?
Di sinilah hukum kehilangan proporsinya. Buku bukan senjata, bukan alat kejahatan. Ia hanya bisa menjadi barang bukti bila isinya secara langsung digunakan untuk melakukan tindak pidana—misalnya buku manual pembuatan bahan peledak yang terbukti dipakai dalam aksi kekerasan.
Sayangnya, dalam praktik, buku disita hanya karena judulnya terdengar “anarkis” atau karena penulisnya dianggap radikal. KUHAP seakan dilompati. Penyitaan berubah menjadi represi, bukan lagi proses mencari kebenaran.
Takut
Mengapa negara takut pada buku? Mungkin karena buku mengandung sesuatu yang lebih berbahaya daripada senjata: gagasan. Senjata hanya bisa melukai tubuh, gagasan bisa mengubah cara manusia hidup. Dan perubahan itulah yang paling ditakuti kekuasaan yang gamang.
Tapi ketakutan ini justru mengungkap kelemahan. Negara yang percaya diri seharusnya berani berdialog dengan ide, bukan memenjarakannya. Menyita buku hanya membuat kekuasaan terlihat kecil.
Demokrasi
Di negeri yang mengaku demokrasi, kebebasan berpikir adalah fondasi. Demokrasi tidak tumbuh dari ketakutan, tapi dari keberanian memberi ruang pada perbedaan. Bila buku disita, maka demokrasi berubah jadi dekorasi: ada di poster, hilang di pijakan.
Kebebasan membaca adalah hak asasi. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyebut: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Membaca buku adalah cara paling dasar untuk membentuk pendapat. Menyita buku berarti menghalangi manusia untuk berpikir.
Sejarah
Kita pernah mengalami zaman ketika buku Pramoedya dilarang, ketika bacaan kiri disembunyikan di bawah bantal, ketika orang bisa dipenjara hanya karena memiliki novel tertentu. Itu masa gelap. Dan sejarah selalu menunjukkan: setiap kali buku dibungkam, bangsa justru mundur.
Kini, bayangan itu muncul lagi. Seakan-akan kita kembali ke jalan lama, jalan penuh kecurigaan. Penyitaan buku bukan sekadar soal hukum, ia adalah soal ingatan kolektif. Ingatan bahwa kebebasan berpikir pernah dimatikan, dan kita berjanji tidak mengulanginya.
Akal Sehat
Yang paling tragis: buku disita dari tangan anak muda. Seorang pelajar SMA di Kediri ditangkap, bukunya ikut disita. Bagaimana kita bisa membayangkan demokrasi ke depan bila generasi mudanya dipaksa takut pada bacaan?
Membaca adalah latihan berpikir. Bila negara melarang latihan itu, siapa yang akan tumbuh menjadi warga dewasa? Kita justru akan melahirkan generasi yang kerdil, takut pada pikiran sendiri.
Penyitaan buku bukan hanya penyitaan benda. Ia adalah penyitaan akal sehat. Negara yang menyita buku sama saja dengan negara yang berhenti berpikir. Sebab akal sehat tumbuh dari keberanian menimbang, membandingkan, dan menguji gagasan.
Tanpa akal sehat, hukum jadi alat kekuasaan, demokrasi jadi slogan, dan manusia jadi penakut.
Jalan
Apa jalan keluarnya? Bukan dengan membiarkan buku liar tanpa kritik, melainkan dengan memperkuat literasi. Bila ada buku yang dianggap berbahaya, lawanlah dengan buku lain, dengan debat terbuka, dengan diskusi yang sehat. Demokrasi bukan ruang tanpa pertengkaran, tapi ruang di mana pertengkaran dilakukan dengan kata, bukan borgol.
Negara seharusnya jadi pelindung kebebasan berpikir, bukan pemangkasnya. Polisi seharusnya mengawal ruang publik agar aman, bukan mengawasi rak buku agar sunyi.
Suatu bangsa bisa dihancurkan dengan peluru, tapi hanya bisa dibodohkan dengan penyitaan buku. Dan bangsa yang dibodohkan akan selalu mudah diperintah.
Maka, mari kita jaga agar rak buku tetap penuh, agar halaman tetap bisa dibuka. Sebab di sanalah akal sehat kita hidup. Dan bila akal sehat disita, yang tinggal hanyalah kegelapan. (han)