BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM— Keracunan massal akibat Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menimpa ribuan peserta didik menjadi tragedi serius. Berdasarkan laporan berbagai media, termasuk Kompas, tercatat 4.711 anak terdampak, termasuk di Kabupaten Bandung Barat. Peristiwa ini bukan sekadar “kelalaian teknis”, melainkan alarm keras adanya cacat serius dalam manajemen, pengawasan, serta komitmen moral penyelenggara program.
Dalam pandangan agama, memberi makan anak-anak adalah amal mulia. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa siapa memberi makan sesama, terlebih anak-anak, maka ia mendapat pahala besar. Namun, ketika makanan justru mencelakakan, hal itu berubah menjadi bentuk kezaliman.
Keracunan massal ini adalah “membahayakan jiwa” yang seharusnya bisa dicegah bila amanah dijalankan dengan benar. Amanah bukan hanya soal niat, tetapi juga tanggung jawab memastikan makanan halal, thayyib, sehat, dan aman.
Ketua Umum HMI Badko Jawa Barat, Siti Nurhayati, menyampaikan keprihatinan mendalam atas insiden kesehatan yang menimpa para tunas muda dalam program MBG.
“Ini paradoks kebijakan: niat menghadirkan maslahat justru berujung mafsadah karena lemahnya pengawasan,” ujarnya.
Ia menegaskan, setiap pemimpin bertanggung jawab atas keselamatan umatnya (kullukum ra’in wa kullukum mas’ul ‘an ra’iyyatihi). Prinsip la darar wa la dirarmengingatkan bahwa kebijakan publik tidak boleh mencelakakan, melainkan harus membawa keberkahan bagi generasi.
Pernyataan Sikap
HMI Badko Jawa Barat menegaskan:
1. Prihatin atas jatuhnya korban keracunan massal MBG, khususnya di Kabupaten Bandung Barat (KBB) yang mencatat hampir 1.000 anak terdampak. Anak-anak yang seharusnya memperoleh gizi justru terancam kesehatannya.
2. Tuntutan transparansi kepada pemerintah pusat, BPOM, serta Pemkab Bandung Barat agar membuka hasil investigasi secara terang kepada publik. Evaluasi menyeluruh distribusi dan pengolahan makanan tidak boleh ditunda.
3. Penegakan sanksi tegas bagi pihak yang lalai, termasuk penyedia jasa boga dan dapur fiktif/tidak standar, baik administratif maupun pidana, demi menegakkan keadilan dan mengembalikan kepercayaan masyarakat.
4. Perbaikan sistem SOP dapur dan distribusi MBG, terutama di KBB. Pemda wajib memastikan kualitas bahan pangan, higienitas dapur, dan kapasitas tenaga pengolah makanan.
5. Kajian ulang program MBG secara menyeluruh, mempertimbangkan aspek kesehatan, pendidikan, akuntabilitas anggaran, dan dampak sosial, agar program benar-benar memberi manfaat.
6. Komitmen kemaslahatan: mendukung pemenuhan gizi anak bangsa, namun pelaksanaan MBG harus dijalankan dengan ketelitian dan amanah sesuai konstitusi dan nilai moral keagamaan.
Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan HMI Badko Jawa Barat, Bayu Saputra, menambahkan bahwa MBG sejatinya lahir dari keprihatinan atas tingginya angka kekurangan gizi anak bangsa. Namun, realitas implementasi justru diwarnai kasus keracunan, pemborosan, hingga terungkapnya dapur fiktif.
“Ini menyingkap jurang antara idealitas kebijakan dan praktik di lapangan. Kebijakan publik hanya berhasil bila memenuhi tiga syarat: efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas. Fakta saat ini menunjukkan MBG belum mampu menjawab syarat tersebut,” tegasnya.
Ia menyoroti bahwa dana besar yang seharusnya memperkuat pendidikan dan kesejahteraan guru justru dialokasikan pada program rawan inefisiensi. Padahal, guru adalah kunci peradaban bangsa.
Agama menegaskan: innallaha yuhibbu idza ‘amila ahadukum ‘amalan an yutqinahu — Allah mencintai bila seseorang mengerjakan sesuatu dengan optimal. Menjalankan program gizi tanpa standar jelas dan tanpa pengawasan adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat sekaligus melanggar perintah Allah.
Karena itu, keberlanjutan MBG tidak bisa berjalan setengah hati. Evaluasi menyeluruh adalah keniscayaan, bukan sekadar perbaikan teknis. Negara wajib kembali pada prinsip dasar kebijakan publik: mengedepankan kemaslahatan rakyat, menghindari pemborosan, dan memastikan setiap kebijakan selaras dengan amanah konstitusi serta nilai moral keagamaan.
Dengan pendekatan itu, Program Makan Bergizi Gratis dapat bertransformasi dari program yang berpotensi mudarat menjadi instrumen nyata dalam mencerdaskan dan menyehatkan kehidupan bangsa — sah secara administratif, etis, moral, dan spiritual. (*/tiwi)












