
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen YPT Unpas dpk FH Unpas (Harga Akal)
WWW.PASJABAR.COM – Tulisan “Harga Sebuah Pikiran” karya Kasiyan mengetuk ruang batin dunia akademik kita yang semakin sunyi. Ia menyorot bagaimana pengetahuan—yang dulu dianggap cahaya—kini harus membeli listriknya sendiri. Kritiknya tajam, getir, dan mewakili kelelahan banyak akademisi yang merasa terjebak di antara idealisme dan birokrasi. Namun, di balik keluh kesah itu, terselip paradoks yang lebih dalam: pengetahuan memang telah berubah menjadi industri, tetapi para ilmuwan juga ikut menjadi pengelolanya.
Kasiyan menempatkan kapitalisme sebagai biang keladi hilangnya makna ilmu. Ia menggambarkan ilmuwan yang kini harus membayar agar pikirannya “terlihat” di panggung dunia, membayar agar tulisannya diterbitkan di jurnal internasional, dan membayar legitimasi agar dianggap sah oleh sistem. Namun, apa yang disebut “kapitalisme pengetahuan” itu tidak hanya datang dari luar; ia tumbuh dari dalam diri dunia akademik sendiri—dari hasrat akan pengakuan, gengsi, dan metrik yang diciptakan oleh komunitas ilmiah.
Ilmu kehilangan makna bukan hanya karena dijual, tetapi karena ia tak lagi dicintai. Dan cinta pada ilmu, seperti halnya cinta pada manusia, sering mati bukan karena kebencian, tapi karena kebiasaan. (Harga Akal)
Metrik
Kita hidup dalam zaman ketika ilmu diukur dengan angka, bukan dengan makna. Impact factor, H-Index, Scopus quartile, dan Google Scholar citation telah menjelma menjadi altar baru dalam ritual akademik. Dosen bukan lagi ditanya apa yang ia pikirkan, tetapi berapa kali ia disitasi. Penelitian bukan lagi soal menjawab problem publik, melainkan soal memenuhi target luaran.
Kasiyan benar menyebut bahwa birokrasi akademik berubah menjadi mesin penghitung. Namun, mesin itu bekerja karena manusia menyalakan tombolnya. Setiap kali kita memasukkan karya ke sistem yang sama, kita ikut memperkuat struktur yang kita kutuk. Sistem ini tumbuh bukan karena kapitalisme semata, tetapi karena kebutuhan akan legitimasi yang kita ciptakan sendiri.
Ilmuwan yang jujur tahu betul bahwa angka tidak selalu sejalan dengan mutu. Banyak pikiran orisinal yang terkubur karena tak memenuhi syarat format, dan banyak tulisan kosong yang dipuja karena lahir di jurnal Q1. Di sinilah tragedinya: sistem yang dirancang untuk menilai kualitas kini justru menstandarkan pikiran.
Pasar
Kapitalisme pengetahuan yang dikritik Kasiyan sejatinya bukan ancaman baru. Dunia penerbitan ilmiah sejak lama dikendalikan oleh korporasi besar seperti Elsevier, Springer, Wiley, atau Taylor & Francis, yang memonopoli akses dan distribusi. Mereka bukan sekadar penerbit; mereka adalah pasar ide.
Namun, pasar tidak selalu kejam. Ia netral: yang menjadikannya eksploitatif adalah manusia yang memperlakukannya sebagai berhala. Dunia akademik kita bukan korban murni, tetapi juga pelaku yang ikut menambang keuntungan simbolik dari pasar itu. Para dosen, kampus, dan lembaga riset berlomba menampilkan statistik publikasi sebagai bukti keunggulan—bukan kebenaran, tapi gengsi.
Di sisi lain, pemerintah menjeratnya dalam sistem reward and punishment yang kaku: publikasi dijadikan prasyarat kenaikan jabatan, hibah, bahkan tunjangan profesi. Akibatnya, ilmu kehilangan kebebasan epistemiknya. Pengetahuan menjadi proyek administratif. Dan seperti semua proyek birokrasi, yang bertahan bukan yang cerdas, tapi yang patuh. (Harga Akal)
Ilusi
Kasiyan mengajak kita kembali ke masa romantik pengetahuan, ketika ilmuwan menulis demi kebenaran. Tapi benarkah masa itu pernah ada?
Sejarah mencatat bahwa pengetahuan tidak pernah netral. Sejak Francis Bacon memperkenalkan ilmu sebagai alat menguasai alam, hingga Michel Foucault mengingatkan bahwa pengetahuan adalah bentuk kuasa yang mengatur manusia, ilmu selalu hidup dalam ekosistem kekuasaan. Dulu raja dan gereja menjadi sponsornya; kini korporasi dan negara menggantikan peran itu.
Maka, mengidealkan “pengetahuan murni” berarti menutup mata terhadap sejarahnya yang kompleks. Yang perlu disadari bukan sekadar siapa yang membiayai ilmu, tetapi untuk siapa ilmu bekerja.
Di sinilah kritik Kasiyan terasa setengah jalan. Ia menolak kapitalisme, tapi tak menyentuh akar persoalan: kemandirian ilmuwan. Karena yang menentukan harga pikiran bukan pasar atau penerbit, tetapi sejauh mana ilmuwan berani berdiri di atas integritasnya sendiri.
Dinding
Birokrasi akademik di Indonesia memang seperti labirin yang menyesatkan. Di balik tumpukan formulir, template, dan sistem daring, ada rasa kehilangan makna yang mendalam. Akademisi sering kali menjadi “penulis yang bekerja untuk data”—bukan untuk gagasan.
Namun, labirin itu tidak dibangun oleh kapitalisme global semata. Ia dibangun oleh kebijakan lokal yang mengubah pendidikan tinggi menjadi pabrik angka. Dosen dipacu menulis, tapi tidak dibekali ruang untuk berpikir. Kampus menuntut luaran, tapi lupa memberi udara bagi diskursus.
Dalam iklim seperti itu, publikasi tidak lagi menjadi peristiwa intelektual, tetapi ritual administratif. Orang menulis karena takut kehilangan tunjangan, bukan karena ingin menemukan kebenaran. Maka tak heran, ketika pengetahuan kehilangan daya kritis, yang tersisa hanya deret angka di laporan kinerja. (Harga Akal)
Bayangan
Tulisan Kasiyan bergetar oleh nostalgia—tentang dunia akademik yang dulu menjanjikan pencerahan, kini menjual pencitraan. Namun, nostalgia sering kali menipu: ia mengaburkan fakta bahwa setiap zaman punya bentuk komprominya sendiri.
Di era digital ini, kapitalisme pengetahuan memang agresif, tapi ia juga membuka akses yang belum pernah ada sebelumnya. Jutaan karya kini bisa diunduh gratis, kolaborasi lintas benua terjadi setiap hari, dan mahasiswa dari daerah pun bisa membaca jurnal Harvard tanpa meninggalkan rumah. Ilmu, meski diperdagangkan, tetap menyebar.
Masalahnya bukan bahwa ilmu dijual, tetapi bahwa ia tidak lagi dibeli dengan rasa ingin tahu. Pembaca dan penulis kini sama-sama tergesa. Di antara tumpukan publikasi, tak banyak yang berhenti untuk memahami. Kita hidup di zaman yang produktif tapi tidak reflektif.
Kritik
Kritik Kasiyan penting sebagai seruan moral. Tetapi kritik moral tanpa refleksi struktural mudah berubah menjadi keluhan. Dunia akademik memang tidak adil, tetapi ia juga tak bisa dilawan hanya dengan kemarahan. Diperlukan strategi baru: membangun ekosistem ilmiah yang adil dan berdaulat di negeri sendiri.
Indonesia sebenarnya punya peluang besar: ribuan jurnal lokal, ribuan peneliti muda, dan kebijakan open access yang mulai bergeliat. Tapi yang kurang bukan fasilitas, melainkan kultur. Kita belum membangun budaya membaca dan menulis yang jujur terhadap gagasan.
Sementara sebagian akademisi sibuk mengejar reputasi, sebagian lain terjebak dalam anti-intelektualisme. Akibatnya, ruang tengah yang seharusnya menjadi arena perdebatan ilmiah justru kosong. Kita kehilangan tradisi dialog, padahal di sanalah pengetahuan tumbuh. (Harga Akal)
Laku
Maka, tugas akademisi hari ini bukan sekadar menulis lebih banyak, tetapi berpikir lebih jujur. Bukan sekadar melawan sistem global, tetapi membenahi sistem domestik yang korup oleh ego dan formalitas.
Pengetahuan bukan hanya soal publikasi, tapi tentang keberanian untuk berdiri di antara dua kutub: idealisme dan kenyataan. Seperti pernah disiratkan Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir, menulis adalah bentuk perlawanan yang paling sunyi—karena ia menuntut kejujuran bahkan ketika tidak ada yang mendengarkan.
Kierkegaard mengingatkan, kebebasan bukan tanpa batas, melainkan keberanian untuk memilih dalam batas—sebuah renungan yang relevan bagi ilmuwan masa kini. Dunia akademik tidak akan pernah steril dari kuasa atau pasar. Tapi ia masih bisa menolak menjadi budaknya.
Kita tak bisa menyingkirkan impact factor, tapi kita bisa menggunakannya tanpa menjadikannya berhala. Kita tak bisa menghancurkan sistem jurnal global, tapi kita bisa membangun komunitas pengetahuan lokal yang bermartabat—yang menilai ide bukan dari di mana ia diterbitkan, tapi dari apa yang ia sumbangkan bagi manusia.
Laku akademik sejati bukan soal menulis di jurnal bereputasi, tapi tentang keberanian berpikir di luar reputasi.
Harapan
Kita mungkin tidak bisa mengubah wajah kapitalisme pengetahuan dalam semalam, tapi kita bisa menyalakan kembali satu lentera: kejujuran berpikir. Karena di balik angka dan algoritma, hanya satu hal yang tidak bisa dimanipulasi: niat.
Kasiyan benar, pengetahuan kini harus membeli listriknya. Tapi listrik, betapapun mahalnya, tak akan berarti apa-apa tanpa sumber cahayanya sendiri. Sumber itu ada di dalam diri ilmuwan: di hasrat untuk memahami dunia, bukan sekadar mencatatnya.
Dan barangkali, di sanalah harga sejati sebuah pikiran ditentukan—bukan oleh pasar, bukan oleh jurnal, tetapi oleh keberanian manusia untuk terus berpikir, bahkan ketika dunia berhenti mendengarkan. -Harga Akal (han)












