
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen FH Unpas & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat (Hal Ihwal Surat Eda(ra)n)
WWW.PASJABAR.COM – Dalam praktik penyelenggaraan negara kita, surat edaran adalah instrumen yang tampak sederhana, bahkan sering dianggap remeh. Ia tidak dibentuk melalui proses legislasi yang panjang, tidak dibahas di ruang rapat parlemen, dan tidak pula diundangkan dalam lembaran negara. Namun justru karena kesederhanaannya itulah, surat edaran kerap menjelma menjadi alat yang paling sering digunakan oleh pejabat publik untuk “mengatur” sesuatu dengan cepat.
Judul tulisan ini sengaja diberi tanda kurung: Eda(ra)n. Sebab dalam praktik, surat edaran sering kali tidak lagi sekadar “edar”, tetapi juga “edan”—melenceng dari nalar hukum yang seharusnya menjadi fondasi pemerintahan dalam negara hukum. Ketika sebuah surat edaran diperlakukan layaknya hukum, di situlah persoalan dimulai.
Hakikat
Secara konseptual, surat edaran bukanlah peraturan perundang-undangan. Ia lahir dari kebutuhan administratif untuk memberikan penjelasan, petunjuk, atau penyeragaman pelaksanaan tugas di lingkungan internal suatu instansi. Dalam teori hukum administrasi negara, surat edaran digolongkan sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel), bukan norma hukum umum.
Hakikat surat edaran adalah membantu, bukan mengikat keluar. Ia dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana sebuah kewenangan yang sudah ada dijalankan, bukan untuk menciptakan kewenangan baru. Dalam konteks ini, surat edaran tidak berdiri di atas dirinya sendiri, melainkan selalu bertumpu pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Ketika hakikat ini dilupakan, surat edaran mudah tergelincir menjadi instrumen yang disalahpahami, bahkan disalahgunakan. (Hal Ihwal Surat Eda(ra)n)
Legalitas
Prinsip legalitas merupakan tiang utama negara hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Artinya, setiap tindakan pemerintahan harus memiliki dasar hukum yang sah. (Hal Ihwal Surat Eda(ra)n)
Dalam perspektif ini, surat edaran tidak pernah dimaksudkan sebagai sumber legalitas. Ia tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Maka, menjadikan surat edaran sebagai dasar pembatasan hak warga negara, apalagi sebagai landasan sanksi, jelas bertentangan dengan prinsip legalitas.
Pemerintahan yang taat asas seharusnya memahami bahwa kecepatan kebijakan tidak boleh mengorbankan legitimasi hukum. Negara hukum tidak mengenal jalan pintas administratif untuk menggantikan peraturan yang semestinya dibentuk melalui prosedur yang sah.
Kedudukan
Dalam sistem peraturan perundang-undangan nasional, kedudukan surat edaran berada di luar struktur norma yang mengikat umum. Ia tidak sejajar dengan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, atau peraturan menteri. Bahkan, ia tidak dapat disamakan dengan jenis peraturan lain yang diakui Pasal 8 UU 12/2011.
Surat edaran hanyalah instrumen administratif internal. Mengangkatnya menjadi “aturan umum” berarti mencampuradukkan kebijakan dengan hukum. Kekeliruan ini bukan sekadar soal terminologi, tetapi menyentuh inti tertib hukum nasional.
Negara hukum menuntut kejelasan: mana yang hukum, mana yang kebijakan. Ketika batas ini kabur, kepastian hukum menjadi korban pertama.
Praktik
Dalam praktik pemerintahan sehari-hari, surat edaran sering kali digunakan karena dianggap praktis. Prosesnya cepat, tidak rumit, dan tidak memerlukan konsultasi lintas lembaga. Namun justru di sinilah risiko terbesar muncul.
Banyak surat edaran yang isinya melampaui fungsi penjelasan teknis. Ada yang memuat larangan, perintah, bahkan ancaman sanksi. Dalam kondisi demikian, surat edaran tidak lagi berperan sebagai pedoman, melainkan sebagai instrumen pengatur yang berdampak langsung kepada masyarakat.
Akibatnya, warga negara dihadapkan pada situasi yang serba tidak pasti. Mereka diwajibkan patuh pada sesuatu yang secara hukum bukan peraturan. Aparat di lapangan pun berada dalam posisi dilematis: antara menjalankan surat edaran atau mematuhi hukum yang lebih tinggi. (Hal Ihwal Surat Eda(ra)n)
Asas
Penggunaan surat edaran tidak dapat dilepaskan dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 menegaskan pentingnya asas kepastian hukum, kecermatan, dan larangan penyalahgunaan wewenang.
Surat edaran yang digunakan untuk mengatur hal-hal di luar kewenangan pejabat penerbitnya dapat dikualifikasikan sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang. Lebih jauh, jika surat edaran itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka secara yuridis ia patut dikesampingkan.
Asas pemerintahan yang baik bukan sekadar norma etik, melainkan standar hukum yang mengikat penyelenggara negara.
Konstitusi
Dari sudut pandang konstitusional, persoalan surat edaran menyentuh jantung perlindungan hak warga negara. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin kepastian hukum yang adil. Kepastian ini hanya mungkin tercapai jika aturan yang mengikat publik lahir melalui mekanisme yang sah dan transparan.
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam berbagai putusannya telah menunjukkan kehati-hatian dalam memperlakukan instrumen administratif. Instrumen semacam surat edaran tidak boleh digunakan untuk mengurangi hak konstitusional warga negara, terlebih jika tidak memiliki dasar hukum yang memadai.
Konstitusi tidak menolak kebijakan, tetapi menolak kebijakan yang berjalan tanpa pijakan hukum.
Batas
Menentukan batas penggunaan surat edaran adalah kebutuhan mendesak. Surat edaran harus dikembalikan pada fungsi asalnya: pedoman internal dan penjelasan teknis. Ia tidak boleh menjelma menjadi “hukum darurat” yang mengatur publik tanpa legitimasi.
Jika suatu kebijakan memang berdampak luas dan mengikat masyarakat, maka jalan konstitusionalnya sudah jelas: membentuk peraturan perundang-undangan. Proses ini mungkin lebih panjang, tetapi di situlah hukum memperoleh wibawanya.
Negara hukum menuntut kesabaran normatif, bukan sekadar kecepatan administratif.
Surat edaran bukanlah musuh negara hukum. Ia justru bisa menjadi alat bantu yang berguna jika ditempatkan secara tepat. Namun ketika surat edaran diperlakukan seolah-olah hukum, maka yang lahir bukan kepastian, melainkan kekacauan normatif.
Di sinilah pentingnya kesadaran konstitusional para penyelenggara negara. Pemerintahan yang kuat bukanlah pemerintahan yang paling banyak mengeluarkan surat edaran, melainkan pemerintahan yang paling setia pada prinsip legalitas.
Jika negara hukum hendak dijaga, maka hal ihwal surat edaran harus ditempatkan kembali pada nalar hukum yang waras—tidak “edan”, tetapi tertib, sah, dan berkeadaban. (han)












