
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen FH Unpas dan Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat (Konsideran Bukan Norma: Menjaga Batas Pengujian Peraturan)
WWW.PASJABAR.COM – Polemik mengenai Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025 kembali memperlihatkan kecenderungan lama dalam perdebatan hukum kita, yakni mencampuradukkan persoalan teknik perumusan peraturan dengan persoalan keabsahan norma hukum. Salah satu fokus kritik yang mengemuka adalah absennya putusan Mahkamah Konstitusi dalam konsideran peraturan tersebut, yang oleh sebagian pandangan dianggap sebagai celah hukum dan dasar pengujian di Mahkamah Agung.
Pandangan demikian perlu diuji secara tertib. Dalam negara hukum, kritik terhadap peraturan perundang-undangan harus ditempatkan dalam kerangka teori validitas norma, doktrin ilmu perundang-undangan, serta batas kewenangan lembaga penguji. Tanpa pembedaan yang jernih, kritik justru berisiko mengaburkan tertib norma.
Konsideran
Dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia, konsideran berfungsi sebagai penjelasan latar belakang pembentukan peraturan. Bagian menimbang memuat alasan normatif dan kebutuhan pengaturan, sedangkan bagian mengingat menunjukkan dasar hukum dan sumber kewenangan pembentuk peraturan.
Namun, konsideran tidak memuat norma operasional dan tidak menimbulkan akibat hukum langsung. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tidak menempatkan konsideran sebagai unsur penentu sah atau tidaknya suatu peraturan. Tidak terdapat ketentuan yang mewajibkan pencantuman putusan Mahkamah Konstitusi dalam konsideran setiap peraturan pelaksana.
Dengan demikian, menempatkan konsideran sebagai ukuran utama keabsahan hukum merupakan perluasan fungsi yang tidak dikenal dalam doktrin hukum perundang-undangan.
Putusan
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Sejak diucapkan, putusan tersebut mengubah makna norma undang-undang yang diuji dan mengikat semua subjek hukum. Konsekuensinya, setiap peraturan di bawah undang-undang wajib menyesuaikan substansi pengaturannya dengan tafsir konstitusional yang telah ditetapkan.
Namun, sifat mengikat tersebut berlaku terhadap isi norma, bukan terhadap teknik perumusannya. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak mengatur cara penyusunan konsideran dan tidak menciptakan kewajiban formal baru dalam struktur peraturan perundang-undangan. Ukuran kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi terletak pada kesesuaian norma yang diatur, bukan pada keberadaan rujukan eksplisit dalam konsideran.
Kekeliruan
Kritik yang menjadikan absennya putusan Mahkamah Konstitusi dalam konsideran sebagai indikator cacat hukum mengandung kekeliruan konseptual. Pendekatan tersebut menyamakan kekurangan teknik perumusan dengan pelanggaran normatif, padahal keduanya berada pada ranah yang berbeda.
Dalam doktrin validitas norma, suatu peraturan tidak kehilangan keabsahannya hanya karena pertimbangan pembentuknya tidak dirumuskan secara lengkap atau eksplisit, sepanjang norma yang dihasilkan tetap berada dalam batas kewenangan dan tidak bertentangan dengan norma yang lebih tinggi. Menggeser fokus pengujian dari substansi norma ke aspek redaksional berisiko menyimpangkan tujuan pengujian peraturan itu sendiri.
Formil
Cacat formil berkaitan dengan kewenangan dan prosedur pembentukan peraturan. Suatu peraturan dinyatakan cacat formil apabila dibentuk oleh pejabat yang tidak berwenang, melalui prosedur yang tidak sah, atau dalam bentuk peraturan yang tidak sesuai dengan jenis dan materi muatannya.
Tidak dicantumkannya putusan Mahkamah Konstitusi dalam konsideran tidak termasuk dalam kategori tersebut. Ketiadaan rujukan tersebut tidak mempengaruhi kewenangan pembentuk peraturan dan tidak melanggar prosedur pembentukan peraturan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, tidak terdapat dasar doktrinal untuk menyatakan suatu peraturan cacat formil hanya karena persoalan konsideran.
Materiil
Apabila kritik diarahkan pada aspek materiil, ukuran yang relevan adalah apakah substansi norma dalam peraturan tersebut bertentangan dengan undang-undang sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi. Pertanyaan yang harus dijawab bukan apakah putusan Mahkamah Konstitusi disebutkan, melainkan apakah norma yang diatur membuka ruang praktik yang secara konstitusional telah dibatasi atau dilarang.
Selama substansi norma tetap berada dalam batas tafsir konstitusional, tidak terdapat cacat materiil. Sebaliknya, apabila norma menyimpang, cacat materiil dapat dibuktikan tanpa bergantung pada ada atau tidaknya rujukan putusan Mahkamah Konstitusi dalam konsideran.
Pengujian
Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Dalam praktiknya, objek pengujian adalah norma operasional yang menimbulkan akibat hukum, bukan latar belakang argumentatif pembentuk peraturan.
Menjadikan konsideran sebagai dasar utama pengujian berarti memperluas ruang lingkup pengujian melampaui batas kewenangan yang ditentukan undang-undang. Pendekatan semacam ini tidak sejalan dengan praktik pengujian di Mahkamah Agung dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pembentukan peraturan.
Batas
Kritik terhadap kualitas perumusan peraturan merupakan bagian penting dari diskursus hukum. Namun, kritik tersebut harus dibedakan dari penilaian terhadap keabsahan hukum. Tidak setiap kekurangan teknik legislasi berujung pada batalnya suatu norma. Menjaga batas ini penting agar tertib hukum tidak terganggu oleh perluasan konsep cacat hukum yang tidak proporsional.
Dengan kerangka tersebut, jelas bahwa absennya putusan Mahkamah Konstitusi dalam konsideran tidak dengan sendirinya menimbulkan cacat hukum, baik secara formil maupun materiil. Ukuran keabsahan peraturan tetap terletak pada kewenangan pembentuk, prosedur pembentukan, dan kesesuaian substansi norma dengan peraturan yang lebih tinggi.
Menjaga pembedaan antara teknik perumusan dan validitas norma bukan sekadar soal ketepatan akademik, melainkan prasyarat bagi tertib hukum dalam sistem peraturan perundang-undangan. (han)












