CLOSE ADS
CLOSE ADS
PASJABAR
Selasa, 23 Desember 2025
  • PASJABAR
  • PASBANDUNG
  • PASPENDIDIKAN
  • PASKREATIF
  • PASNUSANTARA
  • PASBISNIS
  • PASHIBURAN
  • PASOLAHRAGA
  • CAHAYA PASUNDAN
  • RUANG OPINI
  • PASJABAR
  • PASBANDUNG
  • PASPENDIDIKAN
  • PASKREATIF
  • PASNUSANTARA
  • PASBISNIS
  • PASHIBURAN
  • PASOLAHRAGA
  • CAHAYA PASUNDAN
  • RUANG OPINI
No Result
View All Result
PASJABAR
No Result
View All Result
ADVERTISEMENT
Home HEADLINE

Ketika Jabatan Disangka Kekuasaan

Hanna Hanifah
23 Desember 2025
Ketika Jabatan Disangka Kekuasaan

ilustrasi. (foto: istockphoto)

Share on FacebookShare on Twitter
ADVERTISEMENT
OPini Firdaus Arifin Berburu Kursi
Dosen Yayasan Pendidikan Tinggi Pasundan Dpk FH UNPAS, Firdaus Arifin. (foto: pasjabar)

Oleh: Firdaus Arifin, Dosen FH Unpas & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat (Ketika Jabatan Disangka Kekuasaan)

WWW.PASJABAR.COM – Ada satu kekeliruan mendasar yang terus berulang dalam praktik pemerintahan kita: jabatan disangka kekuasaan. Seolah-olah begitu seseorang duduk di kursi jabatan, ia otomatis menjadi pemilik kuasa—bebas menentukan arah, bebas mengatur, bahkan bebas melampaui batas. Padahal, dalam negara hukum, jabatan justru diciptakan untuk membatasi, bukan membebaskan kehendak personal.

Negara tidak bekerja melalui orang per orang, melainkan melalui fungsi yang dilembagakan. Namun kekeliruan memahami jabatan telah membuat banyak pejabat bertindak seolah negara adalah perpanjangan dirinya. Dari sinilah berbagai problem administrasi bermula: keputusan yang sewenang-wenang, kewenangan yang disalahgunakan, dan tanggung jawab yang menguap begitu masa jabatan berakhir.

Ketika jabatan disangka kekuasaan, negara pelan-pelan kehilangan wataknya sebagai negara hukum. Ia berubah menjadi arena pertarungan pengaruh, bukan ruang pelayanan publik.

Jabatan

Dalam Hukum Administrasi Negara, jabatan bukanlah orang. Jabatan adalah konstruksi hukum—sebuah wadah normatif tempat kewenangan publik dilekatkan. Ia tidak punya wajah, tidak punya kehendak, dan tidak punya kepentingan. Jabatan hanya punya fungsi.

Ajaran klasik Logemann menegaskan: niet de mens, maar het ambt handelt—bukan manusianya yang bertindak, melainkan jabatannya. Kalimat ini bukan sekadar teori lama, melainkan fondasi etika negara hukum. Negara tidak boleh dijalankan oleh kehendak personal, melainkan oleh fungsi yang dilembagakan dan dibatasi hukum.

Karena itu, jabatan bersifat impersonal dan berkelanjutan. Orang boleh berganti, tetapi jabatan tetap ada. Politik boleh bergejolak, tetapi jabatan harus tetap bekerja. Ketika jabatan direduksi menjadi kursi kekuasaan, maka yang hilang adalah fungsi publiknya. Jabatan lalu menjadi simbol, bukan instrumen pelayanan.

Baca juga:   Oligarki dan Amanah Pendiri NKRI

Pejabat

Pejabat adalah manusia yang memangku jabatan. Ia bukan pemilik jabatan, melainkan pemegang sementara. Ia menjalankan kewenangan jabatan, bukan menciptakan kewenangan itu dari dirinya sendiri.

Namun dalam praktik, pejabat sering merasa kewenangan melekat pada pribadinya. Ketika hal ini terjadi, pejabat mudah tergelincir menjadi figur dominan yang sulit dikoreksi. Kritik dianggap serangan, prosedur dipandang penghambat, dan hukum ditempatkan sebagai formalitas belaka.

Padahal, pejabat sejatinya adalah subjek yang “dipinjamkan hukum” untuk bertindak atas nama negara. Kesadaran ini seharusnya melahirkan kehati-hatian, bukan arogansi. Pejabat yang sadar dirinya hanya pemangku jabatan akan lebih mudah menerima kritik, karena ia tahu yang diuji bukan martabat pribadinya, melainkan cara jabatan dijalankan.

Ketika pejabat lupa posisi ini, negara kehilangan wajah pelayanan dan berubah menjadi panggung kekuasaan.

Kewenangan

Kewenangan bukan kekuasaan. Kewenangan adalah kekuasaan yang dilegalisasi dan dibatasi hukum. Ia lahir dari norma, dijalankan dalam koridor tujuan, dan selalu berujung pada pertanggungjawaban.

Hukum administrasi mengenal sumber kewenangan yang jelas: atribusi, delegasi, dan mandat. Tidak satu pun memberi ruang bagi tindakan tanpa dasar. Setiap kewenangan memiliki alamat hukum, batas penggunaan, dan tujuan yang harus dicapai.

Karena itu, tradisi hukum publik Eropa mengajarkan prinsip yang tegas: pemerintah tidak bertindak dengan macht (kekuasaan), melainkan dengan bevoegdheid (kewenangan). Kekuasaan memaksa; kewenangan menimbang. Kekuasaan menuntut tunduk; kewenangan menuntut taat pada hukum.

Ketika kewenangan dipahami sebagai hak mutlak, ia kehilangan makna hukumnya. Ia berubah menjadi alat dominasi yang sah secara formal, tetapi rusak secara moral.

Batas

Setiap kewenangan selalu dibatasi. Batas itu datang dari undang-undang, dari tujuan pemberian kewenangan, dan dari asas-asas umum pemerintahan yang baik. Tanpa batas, pemerintahan akan berubah menjadi improvisasi tanpa kendali.

Baca juga:   Hadapi Semen Padang, Persib Tak Mau Jemawa

Yang sering dilupakan, batas kewenangan tidak selalu berbentuk larangan eksplisit. Banyak batas justru hadir dalam bentuk prinsip: kecermatan, keterbukaan, proporsionalitas, dan larangan penyalahgunaan wewenang. Prinsip-prinsip ini menjaga agar legalitas tidak merosot menjadi formalitas.

Keputusan yang sah secara prosedural belum tentu adil secara substansial. Di sinilah hukum administrasi menolak logika “asal ada pasal”. Pasal adalah awal, bukan akhir. Negara hukum menuntut lebih: akal sehat, tujuan yang benar, dan kepatutan.

Proses

Dalam praktik ketatanegaraan, kita sering mencampuradukkan pemilihan dengan pengisian jabatan. Pemilihan memberi legitimasi politik, tetapi pengangkatan memberi status hukum. Tanpa pengangkatan yang sah, jabatan tidak pernah benar-benar terisi secara yuridis.

Rangkaian ini harus dibaca jernih: pemilihan, penetapan hasil, pengangkatan atau pengesahan, pelantikan, dan sumpah. Setiap tahap punya fungsi hukum yang berbeda. Pelantikan dan sumpah bukan sumber kewenangan, melainkan pengukuhan—bahkan dalam beberapa jabatan hanya menjadi syarat efektivitas pelaksanaan tugas.

Ketika prosedur ini diremehkan sebagai seremoni, kita sedang meremehkan cara negara hukum bekerja. Negara hukum percaya pada bentuk, karena bentuk adalah pagar bagi kekuasaan.

Penyimpangan

Ketika jabatan disangka kekuasaan, lahirlah tiga penyimpangan klasik: personalisasi jabatan, patronase politik, dan penyalahgunaan kewenangan.

Jabatan diperlakukan seolah milik pribadi. Pejabat merasa berutang pada sponsor politik. Kewenangan dipakai untuk tujuan selain kepentingan publik. Dalam situasi seperti ini, hukum tetap hadir, tetapi kehilangan roh keadilannya.

Penyalahgunaan wewenang tidak selalu tampak kasar. Ia sering hadir rapi, berkas lengkap, tanda tangan sah. Namun tujuan yang menyimpang membuat keputusan itu cacat secara moral dan hukum.

Uji

Hukum administrasi menyediakan mekanisme koreksi: uji kewenangan, uji prosedur, uji substansi, dan uji tujuan. Pertanyaannya sederhana: apakah pejabat berwenang, apakah prosedur dipatuhi, apakah keputusan proporsional, dan apakah tujuan kewenangan tercapai.

Baca juga:   Tolak NAC Breda, Thom Haye Lebih Memilih Almere City

Mekanisme ini bukan untuk melemahkan pemerintah, melainkan untuk menjaga agar pemerintah tetap berada dalam rel negara hukum. Pemerintah yang kebal justru rapuh. Pemerintah yang dapat diuji adalah pemerintah yang kuat.

Etika

Negara hukum modern tidak cukup dengan legalitas. Ia membutuhkan etika publik. Asas-asas pemerintahan yang baik menjadi jembatan antara hukum dan nurani. Tanpa etika, kewenangan mudah berubah menjadi kekuasaan yang dingin dan tidak peduli.

Etika membuat pejabat bertanya sebelum bertindak: apakah keputusan ini adil, apakah warga diberi ruang didengar, dan apakah dampaknya proporsional. Pertanyaan-pertanyaan ini menjaga agar jabatan tetap menjadi instrumen pelayanan, bukan alat dominasi.

Akhir

Pada akhirnya, persoalan jabatan, pejabat, dan kewenangan adalah soal watak negara. Apakah negara dijalankan sebagai amanah hukum atau sebagai alat kekuasaan?

Ketika jabatan disangka kekuasaan, pejabat merasa berhak atas segalanya. Prosedur dianggap penghambat, kritik dipandang ancaman, dan hukum direduksi menjadi formalitas. Negara tetap berdiri, tetapi kehilangan martabatnya.

Sebaliknya, ketika jabatan dipahami sebagai fungsi, pejabat sebagai pemangku sementara, dan kewenangan sebagai amanah yang dibatasi tujuan, negara bekerja lebih tenang. Keputusan menjadi rasional, sengketa berkurang, dan kepercayaan publik tumbuh.

Barangkali inilah pelajaran paling sederhana—dan paling sering kita abaikan: pemerintah tidak bertindak dengan kekuasaan, melainkan dengan kewenangan. Kewenangan itu bukan hak istimewa, melainkan pagar hukum dan kompas moral. Tanpa pagar, kekuasaan menjadi buas. Tanpa kompas, jabatan kehilangan arah.

Di situlah, tepat ketika jabatan disangka kekuasaan, negara hukum mulai goyah—perlahan, senyap, tetapi pasti. (han)

Print Friendly, PDF & Email
Editor: Hanna Hanifah
Tags: kekuasaan jabatanOpini


Related Posts

Perpol 10/2025 dan Putusan MK dalam Satu Garis Norma
HEADLINE

Perpol 10/2025 dan Putusan MK dalam Satu Garis Norma

19 Desember 2025
Konsideran Bukan Norma: Menjaga Batas Pengujian Peraturan
HEADLINE

Konsideran Bukan Norma: Menjaga Batas Pengujian Peraturan

18 Desember 2025
Hal Ihwal Surat Eda(ra)n
HEADLINE

Hal Ihwal Surat Eda(ra)n

17 Desember 2025

Categories

  • CAHAYA PASUNDAN
  • HEADLINE
  • PASBANDUNG
  • PASBISNIS
  • PASBUDAYA
  • PASDUNIA
  • PASFINANSIAL
  • PASGALERI
  • PASHIBURAN
  • PASJABAR
  • PASKESEHATAN
  • PASKREATIF
  • PASNUSANTARA
  • PASOLAHRAGA
  • PASPENDIDIKAN
  • PASTV
  • PASVIRAL
  • RUANG OPINI
  • TOKOH
  • Uncategorized
No Result
View All Result

Trending

Sensus Ekonomi 2026
HEADLINE

Pemkot Bandung Dorong Pembangunan Presisi Lewat Sensus Ekonomi 2026

23 Desember 2025

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung menargetkan pembangunan yang semakin presisi dan tepat sasaran melalui pelaksanaan...

Napoli Juara Supercoppa 2025 usai tekuk Bologna 2-0. David Neres cetak brace, Antonio Conte raih gelar ganda bersejarah perdana sejak era 1990. (Getty Images Sport)

Napoli Juara Supercoppa 2025 Akibat Sihir David Neres dan Tangan Dingin Antonio Conte

23 Desember 2025
Eliano Reijnders. (Foto: Official Persib)

Bojan Hodak Ungkap Posisi yang Tak Bisa Dimainkan Eliano Reijnders

23 Desember 2025
Buruh Demo

Ribuan Buruh Jabar Demo di Gedung Sate Tuntut Upah Naik

23 Desember 2025
Volume Kendaraan

Volume Kendaraan Masuk Bandung via Tol Pasteur Naik Jelang Nataru

23 Desember 2025

Highlights

Ribuan Buruh Jabar Demo di Gedung Sate Tuntut Upah Naik

Volume Kendaraan Masuk Bandung via Tol Pasteur Naik Jelang Nataru

Bikin Bangga! STKIP Pasundan Bawa 79 Medali di SEA Games Thailand 2025

Film “Avatar: Fire and Ash” Catat Debut Global Terbesar Kedua 2025

OpenAI Hadirkan Kilas Balik Tahunan “Your Year with ChatGPT”

Puluhan Ribu Kendaraan Padati Tol Pasteur Dua Hari Jelang Natal

PASJABAR

© 2018 www.pasjabar.com

Navigate Site

  • REDAKSI
  • Pedoman Media Siber
  • Disclaimer
  • Alamat Redaksi & Iklan

Follow Us

No Result
View All Result
  • PASJABAR
  • PASBANDUNG
  • PASPENDIDIKAN
  • PASKREATIF
  • PASNUSANTARA
  • PASBISNIS
  • PASHIBURAN
  • PASOLAHRAGA
  • CAHAYA PASUNDAN
  • RUANG OPINI

© 2018 www.pasjabar.com

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.