Oleh: Firdaus Arifin, Dosen YPT Pasundan Dpk. FH Unpas
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Setiap 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila, sebuah momen yang menandai ketangguhan Pancasila sebagai dasar negara.
Namun, lebih dari sekadar upacara dan ritual tahunan, peringatan ini harus menjadi momen refleksi mendalam mengenai makna “kesaktian” Pancasila dalam konteks filosofis dan konstitusi.
Apakah kesaktian ini hanya simbol historis, atau ia merupakan konsep dinamis yang terus relevan dalam menghadapi tantangan kontemporer?
Perspektif Filosofis
Secara filosofis, Pancasila tidak sekadar kumpulan lima sila yang berdiri sendiri-sendiri.
Pancasila adalah satu kesatuan nilai yang saling terkait dan membentuk dasar etika sosial, politik, dan hukum di Indonesia.
Menurut filsafat negara, Pancasila dapat dilihat sebagai konsep dasar yang mengandung prinsip-prinsip normatif tentang bagaimana masyarakat Indonesia seharusnya diorganisasi dan dijalankan.
Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” misalnya, menegaskan hubungan manusia dengan sesuatu yang transenden, yang mengandung nilai moral universal dan menjadi landasan etis bagi seluruh tatanan hukum dan sosial.
Di sini, Pancasila memperkuat posisi bahwa negara Indonesia berdiri di atas fondasi moralitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan tanpa memaksakan satu agama atau kepercayaan tertentu.
Prinsip ini menegaskan pandangan filosofis bahwa hukum dan negara tidak boleh terpisah dari dimensi moral.
Di sisi lain, sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” berbicara tentang penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai hak fundamental.
Dalam pandangan filosofis, ini menggambarkan aspek esensial dari humanisme yang mengedepankan martabat manusia di atas segalanya.
Pancasila menempatkan keadilan sosial sebagai tujuan utama, dan ini mencerminkan visi filosofis negara yang berkomitmen pada kesejahteraan seluruh warganya.
Sementara itu, sila ketiga hingga kelima menggambarkan harmoni sosial, kedaulatan rakyat, dan keadilan sosial, yang semuanya berakar pada konsep-konsep filosofis tentang demokrasi dan keadilan distributif.
Di sinilah letak kesaktian Pancasila: ia tidak sekadar merumuskan ideal-ideal abstrak, tetapi memberi landasan filosofis yang jelas bagi tatanan hukum dan politik Indonesia.
Pancasila dalam Konstitusi
Sebagai dasar negara, Pancasila bukan hanya konsep ideologis, tetapi juga landasan konstitusional.
UUD 1945, sebagai konstitusi tertinggi negara, menjadikan Pancasila sebagai dasar dari seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Dalam Pembukaan UUD 1945, termaktub dengan jelas bahwa Pancasila adalah falsafah negara yang melandasi sistem ketatanegaraan dan menjadi sumber dari segala sumber hukum.
Dalam kajian konstitusi, hubungan antara Pancasila dan UUD 1945 tidak dapat dipisahkan.
Konstitusi Indonesia memuat nilai-nilai Pancasila sebagai guiding principles dalam penyelenggaraan negara, terutama terkait dengan hak-hak dasar warga negara, prinsip demokrasi, dan keadilan sosial.
Ini terlihat jelas dalam Pasal 28 UUD 1945, yang menjamin hak asasi manusia yang sejalan dengan sila kedua Pancasila, serta Pasal 33 yang mencerminkan keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam sila kelima.
Kesaktian Pancasila dalam konteks konstitusi terletak pada kemampuannya menjadi fondasi bagi segala produk hukum di Indonesia.
Setiap undang-undang, peraturan, dan kebijakan hukum (legal policy) harus sejalan dengan nilai-nilai Pancasila,
Sehingga memastikan bahwa sistem hukum Indonesia tetap konsisten dengan identitas dan cita-cita bangsa.
Mahkamah Konstitusi, sebagai pengawal konstitusi, sering kali menggunakan Pancasila sebagai rujukan utama dalam menafsirkan konstitusi dan memutuskan perkara-perkara penting yang terkait dengan hak-hak konstitusional warga negara.
Namun, dalam praktiknya, pertanyaannya adalah: sejauh mana Pancasila benar-benar diimplementasikan dalam penyusunan dan penerapan hukum di Indonesia?
Apakah produk-produk hukum kita telah sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai keadilan sosial dan kemanusiaan yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945? Ini menjadi tantangan tersendiri dalam menjaga kesaktian Pancasila.
Pancasila dan Dinamika Global
Seiring dengan perkembangan globalisasi, kesaktian Pancasila diuji oleh berbagai dinamika sosial, politik, dan ekonomi global.
Globalisasi telah membawa berbagai nilai dan ideologi baru yang tidak selalu sejalan dengan Pancasila.
Di tengah gelombang liberalisasi ekonomi, misalnya, terjadi pergeseran nilai dari kebersamaan dan gotong royong (seperti yang ditekankan dalam sila ketiga dan kelima),
menuju individualisme dan kapitalisme yang terkadang justru meningkatkan kesenjangan sosial.
Tantangan lainnya datang dari dalam negeri sendiri. Polarisasi politik yang semakin tajam, korupsi yang merajalela, serta ketimpangan sosial yang semakin lebar, menjadi bukti bahwa implementasi nilai-nilai Pancasila masih jauh dari harapan.
Di sini, kesaktian Pancasila harus diuji bukan hanya pada level retorika, tetapi dalam implementasi nyata di berbagai bidang, termasuk politik, hukum, dan ekonomi.
Pancasila harus terus diperkuat dalam setiap aspek kehidupan bernegara, terutama dalam penyusunan kebijakan dan produk hukum.
Penguatan ini bisa dilakukan melalui pendidikan Pancasila yang lebih substantif, pengawasan lebih ketat terhadap implementasi kebijakan publik, serta penegakan hukum yang adil dan tidak tebang pilih.
Konstitusi harus tetap dipertahankan sebagai benteng terakhir dalam menjaga nilai-nilai Pancasila agar tidak terkikis oleh dinamika politik jangka pendek.
Revitalisasi Pancasila dan Konstitusi
Untuk memastikan bahwa Pancasila tetap sakti dan relevan di tengah perubahan zaman, revitalisasi terhadap nilai-nilai Pancasila dan konstitusi perlu dilakukan secara terus-menerus.
Salah satu bentuk revitalisasi ini adalah dengan menyesuaikan produk-produk hukum dengan perkembangan sosial yang ada, tetapi tetap berakar pada nilai-nilai Pancasila.
Misalnya, dalam menghadapi masalah lingkungan dan perubahan iklim, prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan
yang terkandung dalam Pancasila harus menjadi pedoman dalam merumuskan kebijakan-kebijakan hijau (green policy).
Selain itu, penegakan hukum yang adil harus didasarkan pada prinsip-prinsip Pancasila, terutama keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Konstitusi harus menjadi payung hukum yang kuat untuk memastikan bahwa nilai-nilai Pancasila tidak hanya hidup dalam simbol dan ritual, tetapi benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu cara untuk mewujudkan hal ini adalah dengan memperkuat peran lembaga-lembaga negara, termasuk Mahkamah Konstitusi,
dalam menjaga dan menegakkan Pancasila sebagai dasar hukum tertinggi.
Pancasila dan Masa Depan Bangsa
Kesaktian Pancasila tidak boleh hanya dilihat sebagai peringatan sejarah yang diperingati setiap 1 Oktober.
Lebih dari itu, kesaktian Pancasila harus dimaknai sebagai ketangguhan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, baik dari perspektif filosofis maupun konstitusional.
Pancasila harus terus menjadi dasar dalam pembentukan hukum, kebijakan, dan tatanan sosial di Indonesia.
Dalam menghadapi tantangan global dan dinamika internal, Pancasila perlu direvitalisasi agar tetap relevan.
Kesaktian Pancasila terletak pada kemampuannya untuk terus menyesuaikan diri dengan perubahan zaman tanpa kehilangan esensi dan tujuan utamanya,
yaitu menjaga persatuan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada akhirnya, makna kesaktian Pancasila akan selalu terkait erat dengan seberapa kuat kita, sebagai bangsa, mampu menerapkan nilai-nilai luhur ini dalam konstitusi dan kehidupan sehari-hari.
Sebagai bangsa yang berdaulat, menjaga kesaktian Pancasila adalah tugas kolektif yang harus terus diperjuangkan. (*)