BANDUNG BARAT, WWW.PASJABAR.COM — Dengan mengendarai sepeda motor, ratusan buruh dari berbagai Serikat Buruh melakukan konvoi buruh di kawasan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Senin (14/10/24).
Mereka berkeliling dan menjemput para buruh untuk ber konvoi dengan sepeda motor yang masih berada di dalam pabrik.
Setelah itu para buruh menuju ke gedung DPRD Bandung Barat untuk menyampaikan aspirasinya.
Dalam orasinya para buruh menuntut upah layak sebesar Rp 5 juta, pada UMK tahun depan.
Saat ini upah minimum Kabupaten Bandung Barat 2024 sebesar Rp 3,5 juta.
Tuntutan kenaikan upah ini dikarenakan harga sembako yang terasa semakin mahal bagi kaum buruh.
Aksi buruh yang memblokir jalan mengakibatkan arus lalu lintas dari arah Bandung menuju Cianjur mengalami kemacetan.
Jika keinginan mereka tidak direalisasikan oleh Pemerintah, buruh mengancam akan kembali berdemo.
Tuntut Kenaikan Upah
Dalam aksinya itu mereka menuntut kenaikan upah, ribuan buruh kembali aksi di DPRD KBB
Ribuan buruh yang tergabung dalam Koalisi Lima Serikat Pekerja Bandung Barat kembali menggeruduk Gedung DPRD Kabupaten Bandung Barat (KBB), Senin, kemarin.
Ribuan buruh tersebut sempat melakukan aksi long march dari kawasan Industri Batujajar.
Salah satu juru bicara Dede, buruh se-Bandung Barat menuntut kenaikan Upah Minimum (UMK) Bandung Barat sebesar 100 persen untuk tahun 2025.
“Kami menolak Omnibus Law Salah satu tuntutan utama dalam aksi ini adalah kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Bandung Barat sebesar 100 persen untuk tahun 2025,” katanya.
Berdasarkan hasil survei, lanjut Dede, Dewan Pengupahan mendukung kenaikan ini untuk disesuaikan dengan peningkatan biaya hidup di wilayah Bandung Barat.
“UMK Bandung Barat tahun 2024 hanya mengalami kenaikan sebesar Rp27.882 dari tahun sebelumnya, menjadi Rp3.508.677. Para buruh menilai angka ini tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup layak,” ungkapnya.
Tak cuma itu, para buruh mendesak pemerintah untuk mencabut Omnibus Law-UU Nomor 6 Tahun 2024. Karena dinilai telah merugikan hak-hak pekerja.
“Kami menolak keras fleksibilitas kerja yang diatur dalam undang-undang ini, termasuk sistem kerja kontrak, magang, harian lepas, dan outsourcing, yang dianggap mengancam stabilitas pekerjaan dan kesejahteraan buruh,” ujar Dede yang juga Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) KBB. (Uby)