
Oleh: U Wawan Sam Adinata, Dosen STIE Pasundan (Berantas Koruptor)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Belakangan ini, jagad politik nasional sedang semarak dengan berbagai isu dan tagar yang menyita perhatian cukup luas. Bahkan, respons yang cukup keras dari masyarakat juga terjadi, seperti Pantai Indah Kapuk 2, pemangkasan anggaran, lalu aksi mahasiswa, “Adili Jokowi”, terakhir lalu tagar “Kabur Saja Dulu” atau “Indonesia Gelap”. Sebuah isu yang menggambarkan Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Namun demikian, yang lebih mengejutkan adalah munculnya keputusan partai pendukung pemerintahan Prabowo Subianto, Gerindra, yang mencalonkan kembali Prabowo sebagai calon presiden di 2029.
Pencalonan presiden Prabowo Subianto untuk 2029 diumumkan dalam Musyawarah Luar Biasa Partai Gerindra di Hambalang. Tentu saja mengejutkan, karena Prabowo Subianto baru empat bulan menjadi presiden, masih “bulan madu” istilahnya.
Keputusan
Keputusan Gerindra untuk mengusung lagi Prabowo sebagai calon presiden kemudian disampaikan kepada para pimpinan partai politik di Koalisi Indonesia Maju (KIM) dalam acara silaturahmi di Hambalang. Kemudian, diaminkan.
Tentu saja ada pertanyaan besar di balik pencalonan tersebut. Kenapa secepat itu? Bukankah masih lama? Apakah tidak terlalu cepat? Pesan apa yang tersirat dari pencalonan tersebut? Apakah hanya sekadar “cek ombak” untuk melihat reaksi dari koalisi?
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menilai keputusan Gerindra menetapkan dan mengumumkan Prabowo kembali maju di 2029 terkesan terburu-buru. Sebab, pemerintahan Prabowo baru saja berusia 100 hari pada akhir Januari lalu. Ia pun membandingkannya dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi) yang memimpin dua periode, tetapi tidak mengumumkan pencalonan di periode kedua pada awal pemerintahan.
Namun demikian, di alam demokrasi, hal tersebut sah-sah saja. Setidaknya, kompetitor yang menganggap Gibran sebagai lawan di 2029 berpikir ulang.
Sebagai catatan, Prabowo yang lahir di Jakarta pada 17 Oktober 1951 saat ini telah berusia 73 tahun dan akan genap 74 tahun pada Oktober mendatang. Pada Pilpres 2029 mendatang, sosok yang kembali terpilih sebagai Ketua Umum sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra dalam KLB ke-VII ini bakal berusia 78 tahun. Sebuah usia yang dalam dunia politik tidak terlalu tua, kecuali MK melakukan perubahan persyaratan atas pengajuan masyarakat.
Prabowo menjawab pencalonannya dengan mengatakan bahwa pihaknya malu dan tidak akan maju lagi kalau program kerjanya gagal. Artinya, Prabowo akan maju lagi dengan syarat semua harus berjibaku mensukseskan program pemerintahan Prabowo Subianto lima tahun ke depan.
Keadilan dan Kesejahteraan
Tagar “Indonesia Gelap” dan “Kabur Saja Dulu” sedikit berpesan bahwa penegakan hukum, khususnya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, masih gelap. Sebuah kondisi yang sangat nyata berdasarkan munculnya berbagai kejadian di masyarakat maupun elite yang mencerminkan negara kurang hadir dan mengabaikan rasa keadilan, seperti kasus korupsi.
Ini adalah agenda mendasar dan penting karena merupakan amanah UUD dan Pancasila. Bahkan, viral di dunia maya, TikTok, pidato Presiden Prabowo di 100 hari pemerintahannya. Isi pidato “ultimatum” terdengar keras dan bukan basa-basi. Pidato tersebut intinya menyampaikan bahwa seluruh institusi harus membersihkan diri sebelum dibersihkan, khususnya aparat penegak hukum dan institusi negara untuk membersihkan dirinya masing-masing dari tindak pidana korupsi. “Ibarat pepatah, tidak mungkin membersihkan sampah dengan sapu yang kotor,” begitulah keyakinan yang tertanam dalam memerangi korupsi.
Mungkin banyak tafsir dari pidato tersebut, tapi titik tekannya jelas bahwa kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum, khususnya terkait korupsi, sedang berada di titik terendah. Tentu saja, pada akhirnya, ini akan berpengaruh pada kepercayaan publik terhadap roda pemerintahan, termasuk kepercayaan investor yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. Sebuah bola salju yang ujungnya akan menggulung integritas pemerintahan Prabowo sendiri kalau dibiarkan.
Pidato tersebut sangat jelas menunjukkan pesan bahwa Presiden Prabowo akan komit untuk mewujudkan pemerintahan bebas korupsi dan pro-rakyat. Sebuah tekad yang sangat berat karena akan berhadapan dengan kekuatan oligarki, yang cengkeramannya sangat kuat di segala lini.
Mampukah pemerintahan Prabowo mewujudkan mimpinya? Dari mana sumber kekuatannya? Apakah legitimasi rakyat dalam pemilu kemarin cukup kuat untuk menjadi senjata? Sejarah yang akan membuktikan. Namun demikian, kita bisa melihat bahwa pidato tersebut adalah harapan rakyat, yang sering diberi tontonan bagaimana penegakan hukum korupsi melecehkan akal sehatnya.
Melawan Oligarki
Pernyataan perang terhadap korupsi tanpa dibarengi dengan perangkat perang yang memadai hanya akan menambah luka rakyat. Alias, kekalahan demi kekalahan akan kembali terjadi. Catatan kelam memerangi korupsi di Indonesia ibarat perang pikiran melawan kemustahilan.
Pemerintahan Prabowo harus mendapatkan dukungan yang sangat kuat, solid, dan revolusioner yang memiliki komitmen tinggi dalam memerangi korupsi. Karena ini adalah pertaruhan terakhir dari titik start menuju Indonesia Emas. Dalam hal ini, tentu saja pemerintahan Prabowo bisa belajar dari negara-negara lain seperti China, bagaimana Beijing menegakkan aturan hukuman bagi koruptor.
Kenapa demikian? Karena gurita korupsi sudah sangat tidak terkendali. Kalau istilah Prabowo, korupsi yang dilakukan para koruptor di Indonesia ibarat kanker stadium 4, sebuah kondisi “koma” bagi sebuah bangsa. Maka, tidak heran politik saling menyandera pun terjadi. Kebijakan penegakan sulit dijalankan karena masing-masing memiliki “kartu mematikan”.
Pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman penegakan hukum korupsi adalah negosiasi yang selalu berakhir dengan kekalahan bagi penegak hukum. Bahkan, kekalahannya bisa lebih parah. Artinya, tidak boleh setengah-setengah lagi.
Menarik untuk diambil pelajaran dari reaksi Presiden Rusia, Vladimir Putin, dalam sebuah momen mengomentari sikap Presiden Kazakhstan yang menyatakan bahwa negaranya tidak akan membangun nuklir, tetapi lebih memilih berhubungan baik dengan seluruh negara dunia dan menarik investasi agar negaranya sejahtera dan makmur. Jawaban Putin, “Alm. Presiden Saddam Hussein pun dulu berpikir begitu.” Artinya, memerangi korupsi yang digaungkan dalam pidato tersebut tidak boleh kendor atau lemah, karena kalau lemah dan kendor, akan bernasib sama.
Dan perlawanan pun mulai bermunculan, khususnya dari kekuatan oligarki, atau istilahnya sabotase terhadap program kepemimpinannya. Mulai dari pembunuhan karakter secara halus hingga pembullyan di akar rumput akibat gas hilang beberapa waktu lalu. Bisa jadi itu hanya pesan tersirat yang sederhana dan akan berlanjut ke hal yang lebih besar.
Catatan Akhir
Sebagai catatan, jauh sebelum jadi presiden terpilih, Prabowo mengatakan bahwa dirinya sudah muak dengan keadaan ini.
“Ini bukan republik yang saya bela. Ini bukan republik yang saya pertaruhkan nyawa saya. Ini bukan republiknya Bung Karno, ini bukan republiknya Bung Hatta, bukan republiknya pendiri-pendiri bangsa kita.”
Pidato tersebut menambah keyakinan kuat akan komitmen memerangi korupsi. Karena mensejahterakan rakyat dan memerangi kemiskinan tanpa memerangi korupsi adalah sebuah kemustahilan.
Sekali lagi, perang melawan koruptor adalah agenda besar. Jika Presiden Prabowo berhasil mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap para penegak hukum, khususnya dalam memberantas koruptor, maka dukungan pencalonan Prabowo sebagai presiden pada 2029 akan semakin kuat. (han)