BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM–
Diskusi novel Braga at Paris van Java yang berlangsung dalam rangkaian Bandung Book Festival Gramedia di Braga City Walk, Sabtu (22/2/2025) sukses menarik perhatian para pencinta sastra dan sejarah Kota Bandung.
Acara ini menghadirkan diskusi mendalam mengenai keterkaitan antara sejarah, budaya, dan modernitas dalam lanskap urban Bandung.
Dikemas dalam perspektif sastra urban, novel karya Foggy FF ini mengangkat kompleksitas kehidupan masyarakat Kota Bandung, khususnya di kawasan legendaris Braga. Dengan menggabungkan narasi sejarah, kritik sosial, serta tantangan pelestarian budaya di era modern, novel ini menawarkan refleksi mendalam bagi pembaca yang mencintai warisan kota.
Diskusi dipandu oleh Tiwi Kasavela dari Komunitas Temu Sejarah, yang mengajak audiens menelusuri berbagai lapisan makna dalam novel ini, mulai dari identitas budaya, dinamika sosial, hingga peran literasi dalam merawat sejarah kota. Para peserta yang hadir terlibat aktif dalam perbincangan mengenai bagaimana sastra dapat menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.
“Saya ingin menunjukkan bahwa sastra bukan hanya tentang kisah fiksi, tetapi juga dapat menjadi dokumentasi sosial dan sejarah. Lewat Braga at Paris van Java, saya berharap pembaca dapat lebih memahami bagaimana budaya lokal tetap bertahan di tengah arus modernisasi,” ujar Foggy FF dalam sesi diskusi.
Kisah Anneke dalam Braga at Paris van Java
Novel Braga at Paris van Java sendiri mengisahkan perjalanan Anneke, seorang perempuan yang mewarisi nama besar ayahnya, Acep Maris, tokoh berpengaruh di Bandung. Dalam upayanya memahami dan mencintai Tanah Priangan, Anneke menghadapi berbagai tantangan, idealisme, serta dinamika sosial yang membentuk kehidupannya.
Berlatar Kota Bandung, kisah ini membawa pembaca menelusuri jalanan Braga, Isola, Dago, Asia Afrika, hingga Lembang, menyajikan potret kehidupan warga Parahyangan dalam nuansa tawa dan air mata.
Bagi para pencinta buku, sejarah, dan budaya, diskusi ini menjadi ruang refleksi tentang bagaimana sastra dapat merekam jejak sejarah serta menjadi medium untuk memahami dan menjaga identitas sebuah kota.
Antusiasme peserta yang hadir menunjukkan bahwa minat terhadap sastra dan sejarah lokal tetap kuat, serta menjadi bukti bahwa Bandung bukan sekadar kota, tetapi juga ruang bagi narasi-narasi yang terus berkembang.
Dengan suksesnya diskusi ini, diharapkan literasi sejarah dan sastra urban semakin berkembang, menginspirasi lebih banyak orang untuk memahami dan mencintai warisan budaya Kota Bandung. (tiwi)