
Oleh: Firdaus Arifin
Dosen FH Unpas
Figur Ideal Seorang Rektor
Dalam konteks pendidikan tinggi, rektor bukan sekadar jabatan administratif. Ia adalah pemimpin akademik, penjaga marwah intelektual, sekaligus nahkoda yang membawa kapal besar bernama universitas ke arah yang benar, di tengah samudra tantangan global, perubahan sosial, serta krisis integritas. Namun, dalam praktiknya, jabatan rektor kerap kali tereduksi menjadi bagian dari kompromi politik, tarik-menarik kepentingan, dan kadang, sayangnya, ruang kontestasi penuh intrik.
Figur ideal seorang rektor tak lahir dari manuver, tetapi dari permenungan yang dalam atas tanggung jawab pendidikan tinggi. Ia lahir dari dialektika pengalaman, integritas, dan visi keilmuan. Dalam dunia di mana kompetensi bisa diklaim dan gelar bisa dibeli, universitas membutuhkan figur pemimpin yang tak sekadar cerdas, tapi juga bijak dan bersih.
Rektor sebagai Pemimpin Moral
Rektor adalah simbol moral kampus. Dalam dirinya melekat tanggung jawab menjaga nilai akademik, merawat integritas ilmiah, serta menciptakan ruang aman bagi kebebasan berpikir. Ia harus menjadi figur yang bersih dari rekam jejak korupsi, tidak terafiliasi secara partisan, dan tidak menjadikan kampus sebagai kendaraan politik pribadi atau kelompok.
Dalam sejarah panjang universitas, dari Bologna, Harvard, hingga Gadjah Mada dan ITB, peran rektor selalu menjadi sorotan utama saat terjadi krisis integritas. Seorang rektor yang tersandung kasus etik atau hukum, seketika menjatuhkan reputasi institusi. Karena itu, figur ideal seorang rektor tak hanya diuji oleh CV akademiknya, tapi lebih dalam, oleh komitmennya menjaga nilai-nilai dasar universitas: kebebasan akademik, otonomi keilmuan, dan keberpihakan pada kebenaran.
Visi Akademik, Bukan Ambisi Pribadi
Figur ideal seorang rektor adalah mereka yang memiliki visi akademik jangka panjang, bukan sekadar target administratif lima tahun jabatan. Ia bukan manajer proyek, melainkan pemimpin gagasan. Ia harus mampu membaca peta global keilmuan, menerjemahkannya ke dalam strategi kampus, dan mendorong sivitas akademika untuk menjadi bagian dari percakapan ilmiah dunia.
Ia tak boleh terjebak dalam rutinitas pelaporan akreditasi atau euforia proyek pembangunan fisik semata. Dunia pendidikan tinggi bergerak cepat—transformasi digital, kecerdasan buatan, perubahan paradigma riset—semua menuntut universitas untuk adaptif sekaligus tetap pada nilai-nilai dasarnya. Rektor yang baik adalah mereka yang tahu kapan mendobrak dan kapan menjaga.
Kepemimpinan Inklusif, Bukan Elitis
Kampus adalah ruang keberagaman gagasan, latar belakang, dan kepentingan. Rektor ideal bukan pemimpin yang eksklusif hanya pada elite akademik tertentu. Ia harus mampu menjembatani dosen muda yang bergumul dengan beban riset dan pengajaran, mahasiswa yang gelisah dengan masa depan, hingga tenaga kependidikan yang kerap terlupakan. Kepemimpinannya harus terasa, bukan hanya terbaca di lembar kebijakan.
Ia harus menjadi pendengar yang baik dan pembelajar yang rendah hati. Seorang rektor yang tak mampu membangun kepercayaan di internal kampus, hanya akan menciptakan jarak dan resistensi. Kepemimpinan inklusif bukan sekadar jargon, tapi praktik sehari-hari: membuka ruang partisipasi, menerima kritik, dan mampu memimpin dalam konflik tanpa kehilangan arah.
Bebas dari Transaksi Politik
Di banyak kampus negeri, proses pemilihan rektor kerap menjadi ajang transaksi kekuasaan. Kementerian terlibat, senat terbelah, dan kandidat bermanuver. Mekanisme 35-65 persen suara antara senat dan kementerian membuka celah intervensi yang membuat kualitas calon kerap bukan faktor utama. Dalam situasi seperti ini, figur ideal seorang rektor harus berani menolak jalan pintas dan bersandar pada kepercayaan sivitas, bukan jaringan kuasa.
Rektor bukan kepala dinas. Ia bukan pejabat struktural biasa yang bisa ditentukan atas dasar loyalitas birokratis. Universitas butuh rektor yang memiliki integritas tinggi untuk tidak “membeli” jabatan, dan kemudian “mengembalikan modal” saat berkuasa. Budaya seperti ini menghancurkan etos akademik dari dalam.
Memimpin dengan Keteladanan
Keteladanan adalah hal langka di zaman ketika posisi lebih dihormati daripada substansi. Seorang rektor ideal bukan hanya berbicara tentang integritas, tetapi menjalani hidup dengan integritas. Ia membayar pajak dengan benar, tidak memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi, tidak menggunakan mobil dinas untuk urusan keluarga, dan tidak membentuk lingkaran kekuasaan di sekitar dirinya.
Keteladanan juga berarti berani bersikap dalam isu-isu publik. Ketika kebebasan akademik terancam, ketika ada represi terhadap mahasiswa, atau ketika ada intervensi kekuasaan ke dalam kampus, rektor yang ideal berdiri paling depan, bukan bersembunyi di balik kata “netralitas”.
Kampus Sebagai Taman yang Merdeka
Universitas bukan pabrik ijazah. Kampus bukan ruang produksi tenaga kerja semata. Ia adalah taman gagasan, tempat peradaban tumbuh, tempat manusia berpikir merdeka. Figur ideal seorang rektor menyadari betul hal ini. Ia akan melawan komersialisasi pendidikan tinggi yang menjadikan mahasiswa sebagai konsumen, bukan subjek pembelajaran.
Ia akan memperjuangkan agar kampus tetap menjadi ruang terbuka, tempat dialog terjadi, perbedaan dihargai, dan ilmu berkembang. Ia tidak akan menjadikan kampus sebagai alat politik praktis atau proyek mercusuar semata, melainkan sebagai tempat tumbuhnya generasi yang kritis dan berdaya.
Berakar pada Tradisi, Terbang dengan Inovasi
Rektor ideal mampu merawat tradisi akademik sekaligus membuka pintu untuk inovasi. Ia menghargai nilai historis kampusnya, mengenali jejak pemikir besar yang pernah ada, dan menjadikan itu fondasi untuk bergerak ke depan. Tapi ia juga tidak takut pada perubahan, tidak fobia terhadap teknologi, dan mampu memimpin transformasi digital kampus secara bijak.
Ia tidak memusuhi teknologi, tapi juga tidak menyerahkan masa depan pendidikan pada algoritma. Rektor seperti ini mampu mengembangkan ekosistem riset yang adaptif, sistem pembelajaran yang partisipatif, dan model tata kelola yang akuntabel.
Menjadi Teladan untuk Negeri
Pada akhirnya, seorang rektor ideal bukan hanya untuk kampusnya, tetapi juga untuk bangsa. Ia menjadi contoh bahwa kepemimpinan akademik bisa hadir dengan elegan, cerdas, bersih, dan berkomitmen pada nilai. Di tengah krisis keteladanan nasional, figur seperti ini akan menjadi cahaya di tengah gelapnya birokrasi pendidikan.
Ketika rektor mampu menjadi inspirasi, maka universitas tak hanya melahirkan sarjana, tetapi juga warga negara yang tercerahkan. Ia menciptakan iklim akademik yang sehat, memperjuangkan otonomi kampus, dan memastikan bahwa ilmu pengetahuan tetap menjadi panglima, bukan alat legitimasi kekuasaan.
Akhir kata, figurideal seorang rektor bukan mitos. Ia bisa hadir jika ekosistem pendidikan tinggi menolak korupsi, menolak kooptasi politik, dan berani memilih pemimpin yang punya integritas dan visi. Universitas harus merebut kembali otonominya, dan itu dimulai dari memilih rektor yang benar, bukan sekadar yang bisa mengakomodasi semua kepentingan.
Kita berhak atas kampus yang sehat, dan itu dimulai dari rektor yang tepat. (*)