
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen FH Unpas dan Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat (Trotoar Bandung)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – “Langkah-langkah garang datang. Hancurkan wanginya kembang. Engkau diam tak berdaya.” (Iwan Fals – Bunga Trotoar)
Di atas trotoar, mereka tak hanya berdagang—mereka bertahan hidup. Lapak-lapak itu bukan sekadar gerobak, melainkan dinding ketabahan warga kecil yang tak mendapat ruang dalam skema besar kota. Tapi kini, di bawah komando Wali Kota Bandung M Farhan, “bunga-bunga trotoar” itu kembali layu, disapu atas nama ketertiban dan estetika.
Farhan berdiri di persimpangan antara penataan kota dan pengabaian nurani. Penertiban PKL, pembongkaran bangunan semi permanen, hingga wacana denda Rp1 juta untuk pembeli di zona terlarang bukan hanya kebijakan—ia adalah pernyataan kekuasaan yang menggilas kerumitan hidup rakyat kecil.
Tak ada yang membantah bahwa kota butuh tertib. Tapi bila ketertiban dibangun di atas penggusuran tanpa empati, maka kota kehilangan akarnya sebagai ruang hidup bersama. Trotoar memang untuk pejalan kaki, tapi selama ini, di ruang yang tak pernah cukup adil bagi si kecil, trotoar juga tempat mereka berjuang.
Penertiban
Bandung hari ini menyaksikan wajah kekuasaan yang rapi tapi dingin. Pemkot memberi waktu satu bulan untuk penertiban total, sambil mengerahkan Satpol PP di tujuh titik pusat kota. Lapak PKL yang menempel di trotoar dibongkar, gerobak yang tertinggal disita, dan bangunan semi permanen digusur tanpa kompromi.
Farhan berusaha meyakinkan bahwa penataan ini bukan sekadar menggusur. Ia bicara tentang revitalisasi Teras Cihampelas, eskalator pengganti lift rusak, dan ruang kreatif yang akan dihidupkan untuk menampung PKL. Tapi suara-suara di jalanan berkata lain: relokasi hanyalah wacana, bukan solusi. Bahkan ketika dikritik, ia lebih memilih diam daripada menjelaskan.
Lebih dari itu, muncul wacana denda bagi pembeli yang bertransaksi di zona PKL terlarang. Rp1 juta untuk satu tindakan yang lahir dari empati—membeli dari pedagang kecil agar mereka tetap makan hari itu. Ini bukan hanya kebijakan yang tumpul secara sosial, tapi juga mencerminkan alienasi negara terhadap warganya.
Kota tidak bisa dibangun hanya dengan penggaris. Pemerintahan tidak bisa dijalankan hanya dengan tabel dan timeline. Apalagi ketika yang dihadapi adalah kehidupan informal yang lahir dari kegagalan struktur formal itu sendiri. PKL hadir karena pemerintah gagal memberi ruang yang adil. Lalu mengapa sekarang mereka dimintai tanggung jawab atas ketidakhadiran negara?
Tata Kota
Farhan, dalam kapasitasnya sebagai wali kota, mestinya tahu: tata kota bukan hanya urusan bangunan dan ruang, tapi juga tentang manusia dan harapan. Ketika peraturan berjalan lebih cepat daripada kepedulian, yang tumbuh bukan ketertiban, melainkan kemarahan.
PKL bukan musuh kota. Mereka adalah cermin dari gagalnya sistem ekonomi dan distribusi ruang yang adil. Ketika kota tak menyediakan ruang legal yang layak bagi usaha kecil, maka trotoar menjadi satu-satunya pilihan. Mengusir mereka tanpa menyediakan pengganti bukan penataan—itu penghilangan.
Apakah Bandung ingin menjadi kota estetik tapi tanpa denyut hidup rakyatnya? Apakah Farhan hendak menciptakan lanskap kota bersih dari kekacauan, tapi juga bersih dari suara rakyat kecil?
Bunga-bunga Trotoar
Dalam lirik lagu Iwan Fals, bunga-bunga trotoar tak sekadar diinjak, tapi juga diludahi dan dibakar. Kota hari ini, dengan segala regulasinya, tengah melanjutkan kekerasan itu. Ia tak menggunakan pentungan atau api, tapi regulasi dan denda. Hukuman yang dibungkus hukum.
Sebagai akademisi, saya melihat pola yang berulang: estetika kota lebih diutamakan daripada keberlanjutan sosial. Pemerintah lokal kerap terjebak pada pencitraan visual ketimbang keberpihakan struktural. Ini bukan semata soal Farhan atau Bandung, ini soal bagaimana negara memperlakukan rakyatnya yang paling lemah.
Kota ini lupa, bahwa wajahnya bukan hanya gedung tinggi dan trotoar lebar, tapi juga tawa kecil di lapak gorengan, aroma bakso di ujung jalan, dan mata-mata letih yang tetap ramah menyambut pagi.
Menata Ulang Empati
Farhan dan timnya masih punya waktu. Bukan untuk sekadar membenahi tata kota, tapi menata ulang empatinya. Kota yang adil adalah kota yang memberi ruang bagi semua, bukan hanya yang punya modal dan desain.
Kota yang beradab bukan kota yang bersih dari PKL, tapi kota yang tahu bagaimana memperlakukan mereka dengan hormat dan manusiawi. Trotoar yang sesungguhnya bukan sekadar jalur kaki, tapi jalur hidup. Dan selama negara belum mampu memberi ruang yang setara, jangan salahkan mereka yang bertahan di pinggirannya.
Bunga-bunga trotoar itu mungkin tak wangi, tapi merekalah yang selama ini memberi warna dan hidup bagi Bandung. Jangan biarkan mereka layu di tangan kekuasaan yang buta rasa.
Dan jangan lupa: ketika bunga-bunga itu gugur, yang hilang bukan hanya warna, tapi hati kota itu sendiri. (han)