
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen FH Unpas & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat (Jokowi dan Seni Berpolitik)
WWW.PASJABAR.COM – Ia tak pernah dikenal sebagai orator. Tak juga sebagai pemikir besar. Ia datang bukan membawa buku, tapi tubuh. Laku. Dari lorong-lorong pasar Solo, jalanan rusak di Petamburan, hingga podium kenegaraan di Sidang Umum PBB, Joko Widodo—yang lebih akrab disebut Jokowi—mempraktikkan politik sebagai seni berinteraksi, bukan ilmu mencipta teori. Ia bukan penyusun manuver dari ruang think-tank, melainkan pengolah naluri dalam suhu politik yang serba cair.
Politik dalam tangannya tidak hadir sebagai konsep. Ia menjelma sebagai kehadiran. Sebuah kemampuan membacakan suasana, meresapi getar bawah tanah kekuasaan, dan menangguk pengaruh bukan lewat doktrin, tapi sikap yang—kadang—justru tampak biasa.
Sebagian menyebutnya “pragmatis.” Sebagian lagi, “manajer yang cerdik.” Tapi sesungguhnya, Jokowi adalah maestro politik praktis: seni mempertahankan keseimbangan dalam arena yang rapuh, menghindari guncangan tanpa kehilangan pijakan.
Gerak
Ia tidak memiliki partai sendiri. Tapi pengaruhnya melampaui sekat formal organisasi politik. Mesin kekuasaannya bukan sekadar PDIP, Golkar, atau PSI, melainkan loyalitas personal yang tumbuh dari citra sebagai pemimpin stabil dan bisa dipercaya. Bahkan setelah hubungan dengan PDIP merenggang, geraknya masih terasa di ruang-ruang keputusan strategis.
Dalam dunia yang penuh ketegangan, Jokowi kerap menghindari benturan langsung. Ia lebih memilih jalan memutar. Seperti ketika menggandeng Prabowo Subianto, rival pemilu dua kali, ke dalam kabinet. Langkah ini bukan sekadar akomodasi kekuatan politik. Itu adalah strategi meredam potensi oposisi melalui pelibatan.
Politik baginya bukan soal menang debat. Tapi tentang mengurangi jumlah musuh, menambah teman, dan menyimpan peta pertarungan dalam dompet sendiri. Geraknya tak kasar. Tapi terukur. Seperti air, ia mengalir di celah terkecil, masuk tanpa suara, dan membentuk jalur baru bagi arus kekuasaan.
Bayang
Tak mudah membaca Jokowi. Ia tak banyak bicara, tapi langkahnya membentuk narasi. Ia jarang mengancam, tapi lawan-lawannya gugur satu per satu. Keahliannya bukan menciptakan kebijakan ideal, tapi menjaga keseimbangan antara ketegangan politik, tuntutan ekonomi, dan psikologi publik. Ia bukan pemikir negara, tapi pengendali suasana.
Dan mungkin, di situlah seni paling halus dari politik Jokowi: ia tahu bahwa kekuasaan tidak harus ditunjukkan untuk bisa dijalankan. Meski tidak lagi memegang jabatan, ia tetap menjadi poros. Ia bukan Presiden lagi. Tapi masih menjadi pusat gravitasi.
Ada yang menyebutnya membangun dinasti politik, merujuk pada terpilihnya Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden dan kepemimpinan Kaesang Pangarep di PSI. Namun ini bukan hanya soal keluarga. Ini tentang pengaruh yang diwariskan melalui jejaring, momentum, dan representasi simbolik. Kekuasaan, dalam bentuk yang lebih cair.
Bayangan itu tidak harus menyeramkan. Tapi ia bisa membesar, bisa mengecil, tergantung cahaya. Dan Jokowi tahu betul di mana harus berdiri agar cahaya selalu datang dari belakang.
Panggung
Dalam politik, panggung itu penting. Tapi lebih penting adalah tahu kapan harus naik, dan kapan harus turun. Jokowi menguasai keduanya. Ia tak tergesa. Bahkan ketika mendorong pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, ia tahu bahwa proyek itu mungkin tak selesai di tangannya. Tapi ia tetap berdiri di sana, mengirim pesan: warisan tak harus final, yang penting adalah memulainya.
Ia tidak pernah secara langsung mendukung perpanjangan masa jabatan presiden. Namun, ia juga tak menolak narasi itu ketika berkembang. Ia membiarkan diskursus tumbuh di tengah publik dan elite, membentuk simpul loyalitas tanpa harus memberi aba-aba langsung.
Ia seperti pemain teater kawakan yang hanya perlu berdiri di sudut panggung untuk membuat penonton tetap menatap ke arahnya.
Politik, bagi Jokowi, adalah dramaturgi. Sebuah permainan gerak dan diam, naik dan turun, kata dan hening. Dan tak banyak yang secerdik dirinya dalam membaca waktu, memainkan irama, serta menjaga ritme agar tak membosankan tapi juga tak terbaca.
Senyap
Seni paling sulit dalam berpolitik adalah tetap berpengaruh tanpa banyak bicara. Dan Jokowi melakukannya dengan cemerlang. Ia tak banyak mengeluarkan pernyataan publik setelah lengser, tapi arah politik tetap melingkar ke orbitnya. Ia bukan ketua umum partai, tapi jadi pelindung banyak kendaraan politik. Ia tak punya media, tapi narasinya tetap dikutip dan didebatkan.
Ia tahu kapan harus diam. Ia tahu kapan harus memberi sinyal. Dan dari senyap itu, tumbuh kekuasaan jenis baru: kuasa tanpa instruksi, kendali tanpa perintah, dominasi tanpa teriakan.
Ia bukan Machiavelli, bukan pula Marx. Tapi ia tahu bahwa dunia ini lebih sering dikendalikan bukan oleh para pemikir, melainkan oleh mereka yang tahu kapan harus tersenyum dan kapan harus mundur selangkah—agar bisa lompat dua langkah.
Akhir
Jokowi mungkin tidak akan dicatat sebagai pemimpin dengan visi besar yang tertulis dalam cetak biru ideologi. Tapi ia akan dikenang sebagai pemimpin yang tahu cara menavigasi politik dalam rupa yang paling manusiawi: penuh ketidaksempurnaan, insting, dan kompromi. Ia adalah presiden yang menulis kekuasaan bukan di atas kertas, tapi dalam percakapan sehari-hari, dalam tatapan, dalam pilihan-pilihan kecil yang ternyata menentukan arah besar.
Politik, dalam tangan Jokowi, adalah seni. Dan seperti seni lainnya, ia bukan untuk dijelaskan secara tuntas. Tapi untuk dirasakan dalam diam yang panjang, setelah panggung ditutup, ketika penonton menyadari: yang paling memikat dari pertunjukan ini justru yang tak terlihat. (han)












