BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Kepala Keasistenan Bidang Pencegahan Ombudsman Jawa Barat Fitry Agustine menyebut jika ada inkonsistensi dalam pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020 di Jabar.
Hal tersebut diungapkan ombudsman usai melakukan penelusran atas aduan beberapa orang tua di Jawa Barat prihal pelaksanaan PPDB khususnya untuk jalur Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
“Pengaduan orang tua siswa ABK ini intinya terdapat kebingungan atau ketidakpastian dari pelapor mengenai PPDB bagi calon siswa ABK, kemudian dari pihak Ombudsman menelaah lebih lanjut kemarin malam dan ternyata terdapat masalah inkonsistensi mengenai pendaftaran ABK antara melalui jalur afirmasi di tahap satu atau melalui tahap dua lewat jalur zonasi,” terangnya.
Ia mengungkapkan sejatinya konsistensi dalam juknis PPDB menjadi hal yang sangat penting untuk mencegah polemik atau kesimpang siuran informasi.
“Agar tidak menjadi polemik di masyarakat tentu peraturan yang ada harus jelas dan dapat disampaikan secara luas lewat media elektronik. Dari sosialisasi yang disampaikan oleh pihak penyelenggara yaitu Disdik, kemudian sekolah dan berlanjut ke masyarakat harus selaras. Begitu pun pihak yang menyampaikan informasi harus kompeten atau paham betul dengan juknis,” terangnya kepada pasjabar Kamis (25/6/2020).
Dalam hal ini, lanjut Fitry terdapat kesalahpahaman atau koordinasi yang tidak jelas baik dari Disdik ke kepala sekolah dan satuan pendidikan, mengenai juknis untuk PPDB ABK. Dimana pelapor sebelumnya mengalami ketidakjelasan informasi saat bertanya lebih lanjut mengenai juknis penerimaaan PPDB khususnya untuk ABK.
“Saat ini, kami sedang melakukan klarifikasi kepada Disdik, mengenai seperti apa informasi yang beredar. Karena sebelumnya, ABK disebutkan melakukan pendaftaran di tahap 1 lewat jalur afirmasi, namun tiba-tiba berkembang bahwa untuk ABK dilakulakan pada tahap 2. Kita harus menelaah bagaimana juknis yang ada di dua tahap tersebut, kesimpang siuran atau hal yang belum jelas, apakah ada salah ketik atau bagaimana karena hal ini berdampak untuk penyelenggara di tingkat bawah,” jelasnya.
Hal lainnya yang akan dikaji mengenai syarat calon siswa ABK yakni, menggunakan diagnosa pokja ahli inklusi dan hal ini belum jelas dalam sosialisasi. Sebagaimana Pelapor ia sudah membawa surat psikolog namun ternyata ada syarat bahwa pengetesan dilakukan secara mandiri oleh pokja.
“Kami melihat bahwa pada halaman awal juknis PPDB ditulis bahwa ABK dapat mendaftar pada sistem zonasi, namun di halaman 44 disebutkan bahwa ABK dapat menempuh jalur afirmasi, dan ini yang dibaca pihak sekolah, di sini terjadi inkonsistensi,” tambahnya.
Sejauh ini Ombudsman pun telah menerima 13 pelaporan. Menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang melebihi angka 35 pelaporan. (Tan)