Oleh: Firdaus Arifin
Dosen YPT Pasundan Dpk.FH UNPAS
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) selalu menjadi momen penting dalam demokrasi Indonesia. Namun, dalam setiap pilkada, tak jarang kita disuguhi praktik yang mencederai demokrasi, seperti politik uang dan penyebaran hoax. Dua fenomena ini tidak hanya merusak proses demokrasi yang sehat, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap integritas pemilihan. Jika dibiarkan, politik uang dan hoax bisa mengarahkan kita pada demokrasi yang terjebak dalam polarisasi, manipulasi, dan ketidakadilan.
Politik Uang
Politik uang sudah menjadi rahasia umum dalam pilkada. Banyak kandidat yang lebih mengandalkan uang ketimbang program kerja dalam meraup suara dukungan rakyat. Dalam konteks ini, politik uang tidak hanya menjadi praktik kotor, tetapi juga bentuk perampasan kedaulatan rakyat. Demokrasi yang seharusnya memberi kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpin terbaik, dirusak oleh uang yang membutakan pilihan rasional.
Menurut kajian yang dilakukan oleh Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi), hampir di setiap pelaksanaan pilkada, fenomena politik uang sulit dihilangkan. Ironisnya, politik uang justru sering dianggap wajar dan tak terhindarkan, bahkan oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini menunjukkan betapa mendalamnya penetrasi budaya politik transaksional dalam demokrasi lokal kita.
Namun, politik uang bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah etika politik. Ada implikasi yang lebih mendalam ketika uang menjadi penggerak utama dalam kontestasi politik. Kandidat yang menang bukanlah mereka yang memiliki gagasan terbaik, melainkan mereka yang paling mampu membeli suara. Akibatnya, ketika terpilih, kepala daerah lebih cenderung mengabdi pada kepentingan finansial para sponsor politik ketimbang masyarakat luas.
Hoax
Selain politik uang, hoax atau berita palsu menjadi ancaman baru dalam kampanye politik di era digital. Hoax bukan hanya sekadar informasi yang salah, tetapi sering kali sengaja dibuat untuk mendiskreditkan lawan politik atau memanipulasi persepsi publik. Menurut data dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), menjelang pilkada, penyebaran hoax politik meningkat tajam, terutama melalui media sosial.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah dampak sosial dari hoax. Hoax dapat memicu polarisasi masyarakat, memperkeruh suasana politik, dan menciptakan ketidakpercayaan terhadap Institusi demokrasi. Dalam beberapa kasus, hoax bahkan menimbulkan konflik horizontal di masyarakat. Di sinilah terlihat bahwa hoax bukan hanya persoalan kebenaran informasi, tetapi juga soal stabilitas sosial dan politik.
Kondisi ini diperparah oleh lemahnya literasi digital masyarakat. Banyak pemilih yang tidak memiliki kemampuan untuk memverifikasi kebenaran informasi yang diterima. Akibatnya, hoax dengan mudah menyebar dan mempengaruhi keputusan politik pemilih. Dalam situasi ini, pendidikan literasi digital menjadi kunci penting untuk mengurangi dampak buruk hoax dalam pilkada.
Peran Negara dan Masyarakat
Dalam menghadapi tantangan politik uang dan hoax, negara tidak boleh tinggal diam. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku politik uang dan penyebar hoax harus menjadi prioritas. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memiliki peran strategis dalam memastikan proses pilkada berjalan tanpa intervensi dari praktik kotor tersebut.
Namun, penegakan hukum saja tidak cukup. Diperlukan juga pendekatan yang lebih preventif, misalnya melalui kampanye pendidikan politik bagi masyarakat. Masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang bahaya politik uang dan hoax, serta pentingnya memilih pemimpin berdasarkan kapasitas dan integritas, bukan karena iming-iming materi atau informasi palsu.
Di sisi lain, partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi jalannya kampanye sangat penting. Sebagai pemilih, masyarakat harus berani melaporkan pelanggaran politik uang maupun hoax yang mereka temui. Partisipasi ini akan menjadi pengawasan sosial yang efektif untuk mencegah terjadinya praktik-praktik yang mencederai demokrasi.
Pilkada yang Bermartabat
Pada akhirnya, pilkada yang bersih dan bermartabat bukanlah utopia. Dengan komitmen dari semua pihak, baik negara, masyarakat, maupun peserta pilkada, kita bisa mewujudkan pemilihan yang benar-benar demokratis. Demokrasi lokal akan sehat jika kontestasi politik didasarkan pada gagasan, visi, dan misi yang nyata, bukan pada manipulasi uang atau informasi palsu.
Dalam konteks ini, partai politik sebagai aktor utama dalam pilkada juga harus mengambil tanggung jawab lebih besar. Partai politik harus mengedepankan kader-kader terbaik yang memiliki integritas dan rekam jejak yang baik, serta menolak segala bentuk kampanye yang mengandalkan uang atau menyebarkan hoax. Dengan demikian, partai politik dapat menjadi penjaga nilai-nilai demokrasi yang sejati, bukan pelaku politik transaksional.
Kampanye pilkada yang terjebak dalam politik uang dan hoax adalah ancaman serius bagi demokrasi Indonesia. Jika dibiarkan, hal ini akan terus menggerus kualitas demokrasi lokal kita. Oleh karena itu, langkah preventif dan penegakan hukum harus berjalan seiring dalam mengatasi masalah ini. Yang lebih penting lagi, kesadaran politik masyarakat harus dibangun agar mereka tidak lagi menjadi sasaran empuk dari politik uang dan hoax.
Dalam dunia yang semakin digital, pendidikan literasi politik dan literasi digital harus menjadi prioritas. Hanya dengan masyarakat yang sadar dan berdaya, kita bisa melahirkan pemimpin-pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan positif bagi daerah dan bangsa. Pilkada bukan sekadar ajang kontestasi politik, tetapi ujian bagi kita semua untuk menjaga keutuhan demokrasi. (*)