Oleh: Firdaus Arifin, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan (Permenpora)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Penerbitan Peraturan Menteri Pemuda dan Olahraga (Permenpora) Nomor 14 Tahun 2024 tentang Standar Pengelolaan Organisasi Olahraga Lingkup Olahraga Prestasi telah memicu diskusi hangat di berbagai kalangan, mulai dari pakar hukum, pengurus organisasi olahraga, hingga masyarakat luas. Regulasi ini, yang semestinya menjadi landasan bagi tata kelola organisasi olahraga yang profesional dan transparan, justru dianggap melahirkan risiko baru: mengurangi independensi organisasi olahraga serta membuka ruang bagi intervensi pemerintah yang berlebihan.
Kritik terhadap Permenpora ini tidak hanya menyasar substansinya, tetapi juga proses pembentukannya yang dinilai kurang inklusif. Dengan berbagai persoalan yang mengemuka, penting untuk menganalisis regulasi ini dari sudut pandang legalitas, substansi, serta implikasi praktisnya.
Legalitas
Sebagai sebuah produk hukum, Permenpora Nomor 14 Tahun 2024 harus tunduk pada hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam hierarki tersebut, peraturan menteri menempati posisi yang lebih rendah dibandingkan undang-undang, sehingga tidak boleh mengatur hal-hal yang bertentangan dengan regulasi di atasnya.
Namun, salah satu ketentuan dalam Permenpora ini, yakni kewajiban organisasi olahraga untuk memperoleh rekomendasi dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) sebelum menggelar kongres atau musyawarah induk organisasi, telah memantik pertanyaan serius. Selain itu, perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi juga harus disetujui oleh kementerian. Ketentuan ini menimbulkan persoalan legalitas, karena mengesankan adanya upaya pembatasan terhadap otonomi internal organisasi.
Dalam sistem hukum Indonesia, organisasi olahraga diakui sebagai entitas mandiri yang memiliki hak untuk mengatur urusannya sendiri sesuai dengan AD/ART yang telah disepakati. Intervensi negara, khususnya melalui persyaratan rekomendasi, dapat dianggap melampaui batas kewenangan pemerintah. Hal ini juga berpotensi bertentangan dengan hak kebebasan berserikat yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan hak setiap warga negara untuk berserikat dan berkumpul secara bebas.
Substansi
Dalam konteks pengelolaan olahraga, independensi organisasi merupakan prinsip yang tidak bisa ditawar. Hal ini juga ditegaskan dalam Piagam Olimpiade (Olympic Charter), yang mewajibkan organisasi olahraga nasional bebas dari campur tangan politik untuk menjaga netralitas dan integritas olahraga. Ketentuan Permenpora 14/2024 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk memberikan rekomendasi atas penyelenggaraan kongres dan perubahan AD/ART organisasi olahraga dapat dinilai sebagai bentuk intervensi langsung.
Dalam praktiknya, intervensi seperti ini tidak hanya dapat mengganggu otonomi organisasi, tetapi juga menimbulkan efek negatif yang lebih luas. Beberapa pengalaman menunjukkan bahwa keterlibatan pemerintah yang berlebihan dalam pengelolaan organisasi olahraga dapat memicu konflik internal, termasuk dualisme kepengurusan. Konflik ini, pada akhirnya, merugikan atlet dan dunia olahraga nasional secara keseluruhan. Lebih jauh lagi, campur tangan pemerintah yang melampaui batas dapat mengundang sanksi dari federasi olahraga internasional, seperti FIFA atau IOC, yang secara tegas melarang campur tangan politik dalam urusan olahraga.
Selain itu, Permenpora ini juga membuka peluang birokratisasi dalam tata kelola organisasi olahraga. Proses yang semestinya berjalan secara independen dan efisien justru dapat terhambat oleh prosedur administratif yang kompleks. Alih-alih memperkuat pengelolaan olahraga, regulasi ini berpotensi memperlambat pengambilan keputusan strategis yang sangat dibutuhkan dalam pengelolaan olahraga prestasi.
Respon Pemerintah dan Realitas di Lapangan
Menteri Pemuda dan Olahraga, Dito Ariotedjo, menyatakan bahwa Permenpora Nomor 14 Tahun 2024 bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan organisasi olahraga. Menurutnya, aturan ini merupakan bagian dari upaya menciptakan tata kelola organisasi yang lebih profesional. Namun, meskipun niatnya baik, respons ini belum cukup meredakan kekhawatiran berbagai pihak, terutama organisasi olahraga yang merasa otonomi mereka terancam.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa implementasi peraturan ini berpotensi menimbulkan resistensi. Beberapa pengurus organisasi olahraga telah menyatakan ketidakpuasan terhadap mekanisme rekomendasi pemerintah, yang dianggap sebagai bentuk kontrol berlebihan. Selain itu, tanpa panduan teknis yang jelas, regulasi ini berisiko menciptakan kerancuan dalam pelaksanaannya di berbagai tingkat organisasi.
Implikasi Jangka Panjang
Polemik yang muncul dari Permenpora ini menunjukkan bahwa regulasi yang tidak dirancang dengan matang dapat menimbulkan dampak sistemik. Pertama, regulasi ini berpotensi melemahkan daya saing organisasi olahraga Indonesia di tingkat internasional. Jika sanksi dari federasi olahraga internasional benar-benar dijatuhkan, atlet-atlet nasional akan kehilangan kesempatan untuk berlaga di ajang internasional, yang pada akhirnya merugikan kepentingan negara.
Kedua, intervensi semacam ini juga dapat menciptakan preseden buruk dalam tata kelola organisasi masyarakat lainnya. Ketika pemerintah diberi kewenangan untuk mengatur urusan internal organisasi tertentu, ada risiko bahwa model ini akan diterapkan pada organisasi lain, yang pada akhirnya mengikis kebebasan berserikat secara lebih luas.
Ketiga, dalam jangka panjang, birokratisasi yang diperkenalkan oleh regulasi ini dapat melemahkan efisiensi organisasi olahraga. Sumber daya yang semestinya digunakan untuk program-program pengembangan atlet justru terbuang pada proses administratif yang tidak produktif.
Mencari Solusi yang Seimbang
Untuk mengatasi polemik ini, beberapa langkah strategis perlu dilakukan yaitu: Pertama, Revisi Ketentuan yang Kontroversial. Kementerian Pemuda dan Olahraga harus segera mengevaluasi dan merevisi ketentuan yang dianggap membatasi otonomi organisasi olahraga. Revisi ini penting untuk memastikan bahwa regulasi yang dihasilkan sesuai dengan prinsip hukum dan tidak melanggar hak konstitusional warga negara. Kedua, Dialog dengan Pemangku Kepentingan. Pemerintah perlu membuka ruang dialog yang lebih luas dengan organisasi olahraga, atlet, dan masyarakat sipil. Dialog ini tidak hanya penting untuk meningkatkan legitimasi regulasi, tetapi juga untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan dapat diimplementasikan secara efektif. Ketiga, Fokus pada Penguatan Kapasitas. Daripada memperkenalkan mekanisme kontrol baru, pemerintah dapat fokus pada peningkatan kapasitas organisasi olahraga melalui pelatihan dan pendampingan. Pendekatan ini lebih konstruktif dan tidak mengancam independensi organisasi.
Permenpora Nomor 14 Tahun 2024 mencerminkan upaya pemerintah untuk memperbaiki tata kelola organisasi olahraga di Indonesia. Namun, regulasi ini juga menjadi pengingat bahwa setiap kebijakan publik harus disusun berdasarkan prinsip legalitas, partisipasi, dan akuntabilitas. Ketika regulasi tidak memenuhi prinsip-prinsip ini, dampaknya tidak hanya menciptakan polemik, tetapi juga merugikan pihak-pihak yang seharusnya dilindungi oleh regulasi tersebut.
Dalam semangat negara hukum, pemerintah harus bersedia mengakui kekurangan dan melakukan perbaikan. Dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis prinsip-prinsip hukum, kita dapat berharap bahwa tata kelola olahraga di Indonesia akan menjadi lebih baik, tanpa mengorbankan independensi dan kebebasan yang menjadi pilar utama demokrasi. (han)