Oleh: Firdaus Arifin, Dosen FH Unpas dan Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat (Guru Besar, Aib Besar)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Universitas bukan hanya ruang pencarian ilmu, tetapi juga ruang pembentukan nilai. Di balik tembok kampus, pengetahuan bukan sekadar ditransfer, melainkan ditanamkan dengan tanggung jawab moral. Karena itulah, gelar “Guru Besar” tak sekadar capaian akademik, melainkan simbol tertinggi integritas dan keteladanan dalam dunia pendidikan tinggi. Maka ketika seorang guru besar justru mencoreng kehormatan itu dengan tindakan bejat, yang terluka bukan hanya para korban, melainkan dunia akademik itu sendiri.
Kasus pelecehan seksual yang dilakukan EM, guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), terhadap sedikitnya 13 mahasiswi, bukan hanya berita kriminal. Ia adalah tragedi institusional, aib kolektif, dan ujian bagi keberanian kampus menegakkan nurani. Ironi ini mengguncang fondasi kepercayaan yang selama ini diberikan publik pada kampus sebagai penjaga akal sehat dan ruang aman.
UGM memang telah mengambil langkah tegas. EM diberhentikan permanen dari status dosen setelah proses investigasi menyatakan ia bersalah. Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM bekerja cepat, komite pemeriksaan dibentuk, dan keputusan Rektor UGM dikeluarkan dengan penuh tanggung jawab. Namun, pertanyaan mendasar tetap menggantung: mengapa kekerasan seksual masih bisa bersemayam begitu lama di ruang pendidikan yang seharusnya steril dari dominasi dan kekerasan?
Kekuasaan dan Ketimpangan Relasi
Pelecehan seksual bukan soal syahwat, melainkan soal kuasa. Dalam konteks kampus, relasi dosen dan mahasiswa mengandung ketimpangan yang sangat nyata: dosen adalah penguji, pembimbing, pemberi nilai, sekaligus penentu masa depan akademik mahasiswanya. Ketika posisi itu disalahgunakan, maka dosen menjelma menjadi predator yang tak hanya memangsa tubuh, tapi juga masa depan, mimpi, dan martabat korban.
Dalam kasus EM, modus operandinya khas: mengundang mahasiswa ke rumah pribadi dengan dalih bimbingan tugas akhir. Situasi privat, relasi kuasa yang timpang, dan minimnya pengawasan membuat ruang itu menjelma menjadi medan kekerasan. Yang mencengangkan, peristiwa ini berlangsung berulang-ulang selama lebih dari satu tahun. Ini menandakan ada sistem pengawasan yang abai, budaya diam yang menguat, dan keberanian korban yang selama ini ditenggelamkan oleh rasa takut, malu, dan tekanan struktural.
Aib Kolektif Dunia Akademik
Ini bukan hanya masalah personal EM. Ia adalah wajah buram yang mungkin mewakili fenomena lebih luas yang selama ini tersembunyi di balik etika akademik dan jargon intelektual. Kita tak bisa lagi menutup mata terhadap kemungkinan bahwa predator berkedok dosen, mungkin masih bertebaran di banyak kampus lain. Kasus ini harus menjadi cermin besar bagi dunia pendidikan tinggi bahwa integritas akademik tidak bisa hanya diukur dari indeks kinerja dosen atau jumlah publikasi ilmiah, tetapi juga dari bagaimana seorang dosen menjaga relasi yang sehat, setara, dan beradab dengan mahasiswa.
Dalam banyak kasus, pelaku kekerasan seksual di kampus justru berlindung di balik prestise akademik. Gelar profesor kadang menjadi perisai dari pertanyaan etik. Jabatan struktural kerap dijadikan alat intimidasi terhadap korban. Kampus, dengan segala kebesaran simboliknya, menjadi tempat yang begitu sunyi ketika seorang mahasiswa perempuan berteriak tanpa suara karena takut dikeluarkan, dinilai buruk, atau dikucilkan oleh sistem.
Dan inilah tragedi itu: di saat kita berbicara soal “Kampus Merdeka”, justru kebebasan tubuh dan suara korban dirampas oleh mereka yang seharusnya menjadi penjaga etika.
Satgas PPKS: Harapan Baru, Tantangan Berat
UGM patut diapresiasi karena membuktikan bahwa sistem bisa bekerja jika ada komitmen moral. Satgas PPKS UGM menjadi contoh konkret bagaimana keberpihakan kepada korban bukan sekadar slogan. Langkah-langkah progresif seperti pendampingan, pemulihan, hingga pemberdayaan korban adalah bentuk keberadaban institusi akademik.
Namun tantangan ke depan jauh lebih berat. Sebab akar dari kekerasan seksual bukan hanya individu pelaku, melainkan budaya kampus yang selama ini permisif terhadap kekuasaan yang tidak diawasi. Diperlukan lebih dari sekadar protokol; kita butuh pembongkaran sistemik terhadap kultur feodal di dunia akademik. Perlu reformasi cara pandang terhadap relasi dosen-mahasiswa, penanaman nilai kesetaraan gender sejak dini, serta pendidikan etika akademik yang menyentuh dimensi afektif, bukan hanya kognitif.
Yang lebih mendesak: sistem perlindungan terhadap korban harus didesain sedemikian rupa agar tidak menimbulkan trauma kedua. Banyak korban yang memilih diam karena tidak percaya bahwa sistem bisa melindungi mereka. Di sinilah peran nyata negara dan lembaga pendidikan diuji: apakah cukup memiliki regulasi, atau berani menegakkan keadilan?
Negara Harus Hadir
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mengeluarkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan Tinggi. Namun regulasi ini hanya akan menjadi dokumen mati jika tidak diimplementasikan secara serius oleh seluruh perguruan tinggi.
Kementerian harus mendorong kampus untuk membentuk satgas PPKS yang independen, membangun sistem pelaporan yang ramah korban, dan menjadikan perlindungan terhadap mahasiswa sebagai indikator kinerja utama perguruan tinggi. Lebih jauh, negara juga harus menyiapkan langkah hukum terhadap pelaku—termasuk pencabutan status Aparatur Sipil Negara (ASN) jika terbukti melakukan kekerasan seksual dalam jabatan publik.
Dalam kasus EM, proses etik telah selesai, tetapi proses hukum belum terdengar gaungnya. Apakah predator berseragam akademik hanya diberhentikan secara administratif tanpa proses hukum pidana? Jika ya, maka pesan yang sampai kepada publik adalah: kekerasan seksual di kampus hanya diselesaikan secara internal, dan pelaku tetap bisa berjalan bebas di luar pagar kampus.
Melawan Budaya Sunyi
Satu hal yang perlu kita akui secara jujur: kekerasan seksual di kampus terjadi dalam budaya sunyi yang panjang. Budaya ini tumbuh karena kita terlalu hormat pada gelar, terlalu takut pada jabatan, dan terlalu ragu untuk berpihak pada yang lemah. Kita membiarkan banyak jeritan hilang di balik tembok ruang dosen, karena tak ada keberanian untuk bertanya, apalagi bersuara.
Kini, semua itu harus diakhiri. Kasus EM harus menjadi momentum untuk membongkar aib-aib yang selama ini tertutup rapat. Mahasiswa harus diberi ruang aman untuk bersuara. Dosen harus dididik bukan hanya untuk berpikir ilmiah, tetapi juga untuk berperilaku etis. Kampus harus menjadi tempat yang tak hanya cerdas, tetapi juga beradab.
Guru Besar Harus Menjadi Guru Moral
Gelar guru besar semestinya tak hanya berbicara soal publikasi di jurnal internasional atau kepakaran teknis semata. Ia juga harus menjadi simbol dari kematangan etik, keteladanan hidup, dan keberanian moral. Kampus yang hebat adalah kampus yang mampu menghasilkan ilmuwan yang bukan hanya pintar, tetapi juga jujur, rendah hati, dan peduli pada nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam dunia pendidikan tinggi, kredibilitas moral adalah fondasi dari kepercayaan publik. Dan sekali ia tercoreng oleh perilaku bejat seorang guru besar, maka luka itu tidak sembuh dengan cepat. Butuh waktu, keberanian, dan pembenahan sistemik untuk memulihkannya.
Kita tidak boleh membiarkan satu kasus menjadi rutinitas pemberitaan. Ia harus menjadi peringatan keras bagi seluruh kampus di negeri ini. Bahwa kampus tidak boleh hanya mencetak gelar, tapi juga mencetak tanggung jawab. Bahwa seorang dosen bukan hanya pengajar, tapi panutan. Dan bahwa seorang guru besar yang berperilaku bejat, bukan hanya merusak dirinya, tetapi juga mengkhianati kehormatan akademik yang seharusnya ia jaga.
Karena itu, dalam dunia pendidikan tinggi, tidak ada ruang untuk kompromi terhadap predator. Di hadapan aib besar, kita butuh keberanian besar. Demi kampus yang lebih beradab. Demi ilmu yang lebih bermartabat. (han)