Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si., Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan (Manusia dalam Pandangan Islam, dalam buku Mengenal Kesempurnaan Manusia)
WWW.PASJABAR.COM – Berbeda dengan para ilmuwan yang mengusung dan mendukung teori evolusi, Islam memandang manusia sebagai spesies tersendiri yang diciptakan oleh Allah Swt melalui dua cara.
Pertama, diciptakan tanpa melalui proses atau periode-periode tertentu, tetapi melalui qudrah dan irādah Allah dengan firman-Nya, “Kun! Fayakūn!” (“Jadilah!” Maka jadilah ia), atau tidak melalui proses biologis yakni hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Contohnya adalah Nabi Adam (manusia pertama), Siti Hawa, dan Nabi Isa As.
Kedua, diciptakan melalui proses atau tahapan-tahapan tertentu, yakni melalui pembuahan antara sperma laki-laki dan perempuan. Manusia yang diciptakan melalui cara ini adalah manusia pada umumnya selain tiga orang tadi.
Proses penciptaan seperti ini disebut tadrijiyyah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surah Nuh ayat 14:
“Sesungguhnya Dia (Allah) telah menciptakan manusia dalam beberapa tingkat kejadian.”
Tingkatan-tingkatan tersebut diperjelas dalam surah Al-Mu’minun (23): 13–14.
Dari kedua cara penciptaan manusia di atas, Islam memandang manusia bukan bagian dari binatang, melainkan salah satu ciptaan Allah yang paling mulia derajatnya dibanding makhluk-makhluk lainnya.
Kemuliaannya terlihat pada potensi yang dimilikinya dengan peran dan fungsi yang berbeda-beda. Potensi-potensi tersebut juga yang membedakannya dengan binatang.
Seperti telah disebutkan di awal pembahasan, manusia merupakan makhluk monodualis, yakni tampaknya satu namun hakikatnya terdiri dari dua unsur: jasmani dan ruhani.
Kedua unsur tersebut memiliki organ-organ yang berbeda sesuai peran dan fungsinya masing-masing. Organ jasmani terdiri dari kepala, tangan, kaki, hidung, telinga, dan lain-lain. Sedangkan organ ruhani terdiri dari hati, jiwa, ruh, akal, dan lain-lain.
Karena manusia memiliki dua unsur, jasmani dan ruhani, dan setiap unsur memiliki organ-organnya yang berbeda, maka dalam Al-Qur’an, manusia disebut dengan berbagai istilah sesuai unsur yang ada dalam dirinya.
Al-Qur’an tidak menyebut manusia sebagai binatang (hayawan), kecuali ketika perilaku manusia menyimpang dari sifat-sifat kemanusiaannya, sebagai bentuk perumpamaan (lihat QS Al-Furqan [25]: 44; QS Al-A’raf [7]: 179).
Istilah Manusia dalam Al-Qur’an
Bani Adam (anak cucu Nabi Adam)
Sebutan ini terdapat dalam banyak ayat, salah satunya:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS Al-A’raf [7]: 31)
Sebutan bani Adam mengandung makna historis bahwa asal-usul manusia adalah dari Nabi Adam. Dari Adam dan istrinya, Siti Hawa, Allah menciptakan keturunan yang ada di bumi sekarang (lihat QS An-Nisa [4]: 1).
Basyar
Sebutan ini terdapat dalam ayat berikut:
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia (basyar) seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Sesungguhnya Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.’” (QS Al-Kahfi [18]: 110)
Ayat ini turun ketika sebagian umat Islam pada masa Nabi Muhammad saw menuhankan beliau. Wahyu ini menegaskan bahwa Nabi adalah manusia biasa seperti mereka, hanya saja beliau menerima wahyu.
Sebutan al-basyar menekankan bahwa manusia memiliki unsur biologis: perlu makan, minum, melanjutkan keturunan, dan kebutuhan biologis lainnya.
Al-Insan dan Al-Ins
Al-Insan:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS At-Tin [95]: 4)
Para ahli tafsir menjelaskan bahwa keistimewaan manusia adalah diberi akal, yang membedakannya dari makhluk lain.
Al-Ins:
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia (al-ins), melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat [51]: 56)
Kedua istilah ini menegaskan bahwa manusia adalah makhluk berakal dengan potensi akademis dan spiritual.
An-Nas atau Al-Unas
An-Nas:
“Hai sekalian manusia (an-nas), sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 21)
Al-Unas:
“Jawab kaumnya tidak lain hanya berkata, ‘Usirlah mereka (Luth dan pengikutnya) dari kotamu ini. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang (unas) yang berpura-pura menyucikan diri.’” (QS Al-A’raf [7]: 82)
Kedua istilah ini menekankan aspek sosiologis manusia, yakni hidup bermasyarakat dan tidak bisa hidup sendiri.
Selain itu, Al-Qur’an juga menyebut manusia dengan istilah an-nafs (unsur psikologis), al-mar’ (unsur individu), dan khalifah (wakil Allah di muka bumi dengan tugas menegakkan keadilan dan kebenaran). (han)












