
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen YPT Pasundan dpk FH Unpas (Netralitas Organisasi Dosen dalam Politik Kampus)
WWW.PASJABAR.COM – Kampus seharusnya menjadi tempat paling jernih untuk berpikir dan berdialog. Namun belakangan, ruang yang seharusnya diisi oleh nalar akademik justru mulai keruh oleh kepentingan politik. Fenomena ini berulang setiap kali universitas memasuki masa pemilihan rektor atau dekan: spanduk dukungan bermunculan, grup dosen terbelah, dan organisasi dosen terseret dalam arus dukung-mendukung.
Padahal, organisasi dosen didirikan bukan untuk berpolitik, melainkan untuk memperjuangkan martabat profesi akademik—menegakkan otonomi keilmuan, memperkuat solidaritas ilmuwan, dan mengadvokasi kesejahteraan tenaga pendidik. Begitu organisasi dosen terlibat dalam perebutan kekuasaan, ia kehilangan fungsi etiknya. Dari penyeimbang, berubah menjadi pemain; dari penjaga nurani, menjadi alat kepentingan.
Dosen bukan sekadar pengajar. Ia adalah penjaga nurani intelektual. Bila asosiasi dosen berpihak kepada calon pimpinan tertentu, maka yang runtuh bukan hanya netralitas, tetapi juga wibawa akademik. Kampus yang mestinya steril dari aroma kekuasaan pun berubah menjadi panggung perebutan pengaruh.
Etika
Dalam tradisi akademik, netralitas bukan sekadar pilihan moral, melainkan kewajiban etik. Magna Charta Universitatum (1988) menegaskan bahwa universitas berdiri di atas kebebasan akademik, kebebasan berpikir, dan otonomi kelembagaan. Prinsip-prinsip ini hanya bisa tumbuh di tanah yang bebas dari intervensi politik dan kepentingan pribadi.
Asosiasi dosen yang ikut dalam dukung-mendukung calon rektor justru menodai nilai-nilai tersebut. Ia mengikis kepercayaan publik terhadap objektivitas akademisi dan merusak kredibilitas lembaga pendidikan tinggi. Thomas Lickona (1991) dalam Educating for Character menulis bahwa pendidikan moral berangkat dari keteladanan. Bila dosen tak mampu menampilkan teladan integritas, bagaimana mahasiswa dapat belajar makna kejujuran dan tanggung jawab?
Netralitas organisasi dosen karenanya bukan pasifisme, melainkan bentuk tertinggi dari etika profesi. Ia menjadi simbol bahwa ilmu tidak tunduk pada kekuasaan, dan suara moral akademik tak bisa dibeli oleh kepentingan sesaat.
Kekuasaan
Politik kampus sering kali menjadi cermin politik nasional—lengkap dengan intrik, lobi, dan transaksi dukungan. Dalam konteks seperti ini, asosiasi dosen sering dijadikan “kendaraan” bagi calon tertentu untuk menambah legitimasi sosial.
Padahal, sebagaimana dikemukakan Philip G. Altbach (2005) dalam American Higher Education in the Twenty-First Century, universitas memiliki sistem kepemimpinan yang khas: berbasis merit, bukan mayoritas suara atau kekuatan massa. Kepemimpinan akademik hanya akan bermakna bila lahir dari kualitas ilmiah dan rekam jejak integritas, bukan hasil dari mobilisasi dukungan politik.
Ketika organisasi dosen berpihak, kampus kehilangan jati dirinya sebagai ruang rasional. Demokrasi kampus berubah menjadi demokrasi prosedural semata—sah secara administratif, tetapi cacat secara moral. Pimpinan yang terpilih karena dukungan politik akan cenderung “membayar utang” setelah menjabat, dan ini berpotensi menurunkan objektivitas kebijakan akademik.
Hukum
Tidak satu pun peraturan memberi kewenangan organisasi dosen untuk ikut campur dalam pemilihan pimpinan perguruan tinggi. Berdasarkan Permendikbud Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri, proses pemilihan rektor dilakukan oleh senat universitas, dan untuk perguruan tinggi swasta oleh badan penyelenggara.
Asosiasi dosen adalah organisasi profesi di luar struktur formal universitas. Ia tidak memiliki kewenangan dalam tata kelola kampus, dan tidak termasuk organ pengambil keputusan. AD/ART berbagai asosiasi dosen—seperti Asosiasi Dosen Indonesia (ADI), Persatuan Dosen Republik Indonesia (PDRI), maupun asosiasi bidang ilmu—secara eksplisit melarang penggunaan organisasi untuk kepentingan politik praktis.
Dengan demikian, dukungan organisasi dosen terhadap calon rektor atau dekan bukan hanya melanggar etika akademik, tetapi juga menyalahi hukum internal organisasi mereka sendiri.
Integritas
Kredibilitas perguruan tinggi berdiri di atas integritas para dosennya. Gelar akademik setinggi apa pun akan kehilangan makna jika tak dibarengi kejujuran moral. Dalam laporan World Economic Forum (2020), Universities of the Future: Building Institutional Resilience, disebutkan bahwa krisis kepercayaan publik terhadap universitas global sering kali berakar dari konflik kepentingan di kalangan dosen.
Kampus kehilangan reputasi bukan karena kekurangan profesor, melainkan karena profesor kehilangan integritas. Dalam konteks ini, organisasi dosen seharusnya menjadi penjaga integritas—bukan bagian dari permainan kekuasaan. Mereka mestinya berfungsi sebagai pengawas independen yang memastikan pemilihan pimpinan berjalan transparan, akuntabel, dan meritokratik.
Pencerahan
Alih-alih menjadi alat dukungan, asosiasi dosen seharusnya menjadi arena pencerahan akademik. Mereka dapat menggelar forum etika dan debat terbuka antarcalon rektor atau dekan untuk menilai visi akademik dan integritas. Dengan begitu, mereka berperan aktif memperkuat academic deliberation—yakni pengambilan keputusan berbasis argumen rasional dan keilmuan.
Dengan cara ini, organisasi dosen tetap netral tanpa kehilangan fungsi sosialnya. Mereka berkontribusi dalam memperkuat demokrasi kampus dengan cara yang beradab. Sebab, demokrasi akademik bukan semata soal siapa yang menang, tetapi bagaimana prosesnya mencerminkan kejujuran intelektual dan kedewasaan moral.
Harapan
Zaman kini memperlihatkan betapa kaburnya batas antara idealisme dan pragmatisme. Di tengah dunia akademik yang mulai terkontaminasi aroma kekuasaan, netralitas organisasi dosen menjadi kebutuhan moral yang mendesak.
Kampus membutuhkan suara jernih—suara yang berpijak pada nurani ilmiah, bukan kepentingan pribadi. Netralitas bukan berarti diam; netralitas justru keberanian untuk berdiri di atas kebenaran. Bila asosiasi dosen mampu menegakkan prinsip itu, universitas akan tetap menjadi menara ilmu, bukan arena perebutan kuasa.
Dan di tengah masyarakat yang semakin kehilangan teladan, kampus seharusnya menjadi tempat pertama untuk mengembalikan arti kata beradab. (han)












