BANDUNG, PASJABAR.COM – Pemilu serentak 2019 untuk memilih legislatif dan eksekutif, meski dianggap efektif, pada kenyataannya di lapangan justru menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Mirisnya sebagian besar korban tersebut yakni para petugas KPPS, yang kelelahan.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Pasundan (Unpas), Dr H Deden Ramdan MSi.CICP.DBA, kepada Pasjabar, Selasa (23/4/2019), menyebutkan jika pemilu serentak bisa ditinjau ulang.
“Pemilu serentak merupakan amanat utusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.14/PUU-x1/2013 yang kemudian diatur dalam UU NO.7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun produk hukum ini bisa ditinjau kembali makna keserentakannya,” ungkapnya, yang juga merupakan dosen Komunikasi Pascasarjana Unpas ini.
Peninjauan ulang itu dikatakan Deden Bisa dilakukan, karena terjadi peristiwa yang memprihatinkan ketika jumlah petugas KPPS, yang meninggal dunia sudah mencapai angka 91 prang dan yang sakit 374 petugas, yang tersebar di 19 Provinsi, yang kelelahan usai melakukan perhitungan dan rekapitulasi suara pemilu.
“Jadi tidak berlebihan mereka dianggap sebagai pahlawan demokrasi, oleh sebab itu beberapa rekomendasi perlu menjadi perhatian yakni dipisahkannya Pemilu serentak Tingkat Nasional dan pemilu serentak di tingkat daerah, untuk Nasional memilih pejabat tingkat Nasional melalui pilpres, pemilu DPR dan DPD,” paparnya.
Sementara itu untuk pemilu serantak Daerah dilakukan untuk memilih Gubernur, Bupati/Walikota serta pemilu DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dilaksanakan dalam kurun waktu 5 Tahun.
“Ini akan mereduksi permasalahan yang dihadapi di Pemilu 2019, seperti selain meringankan beban petugas KPPS, tetapi juga akan memperkuat konsolidasi koalisi Partai Politik juga para pemilih lebih fokus dalam menentukan pilihannya dan menghindari isu politik identitas yang cenderung menciptakan disintegrasi Bangsa,” kata Deden. (tie)